Oleh: Suroto*
Tidak lama lagi Pemilu serentak akan segera dilaksanakan. Masa kampanye sudah masuk. Para Capres dan Cawapres serta Caleg sudah mulai kasak kusuk cari dukungan. Saling serang. Semua ingin jadi juara. Jadi pemenang dalam persaingan. Jadi nomor satu, nomor wahid. Menjadi paling top markotop.
Spanduk dan baliho terpampang dimana-mana. Isinya hampir mirip-mirip semua. Berupa foto calon dengan foto wajah alim, sopan, rapi, berpeci, berjilbab. Wajahnya saya tahu bahkan ada yang di filtering agar tampak muda untuk yang aslinya sudah usur. Mungkin agar pemilih pemula terkesima. Maklum saja, sekarang-sekarang ini Indonesia sedang dapat bonus demografi, alias banyak jumlah anak mudanya. Jadi sesuaikan dengan kelompok pemilih yang paling banyak jumlahnya.
Sesekali ada yang terlihat nyeleneh. Pasang wajah asoy pakai gaya enjoy dengan foto yang lucu-lucuan dan bawa boneka-bonekaan Tedy Bear segala. Menyiksa pohon-pohon dengan memaku meraka untuk melekatkan poster wajah, gambar gambar partai, mengotori jembatan, pagar, perempatan dan tempat tempat umum. Semua menjadi seperti kumpulan sampah tak berguna.
Di sosial media tak kalah heboh, di Tik Tok, Facebook, Istagram, X, dan lain-lain dibajiri juga video video pendek yang isinya goyang-goyang geboy, pasang gaya gemoy, slepet-slepetan, buat slogan-slogan bombastis, jual janji-janji palsu.
Itu aktifitas serangan di area udara kata para tim sukses dan calon. Di daratan tak kalah heboh. Serangan orang-orang yang mengklaim sebagai calon pemimpin seluruh rakyat Indonesia itu mulai sibuk blusukan tak menentu arah di gang-gang sempit, jalan di lorong-lorong kampung , kunjungi pasar-pasar tradisional kumuh, dan bahkan ke sawah-sawah temui petani dan ke pantai-pantai temui nelayan miskin. Mereka pasang wajah memelas penuh permohonan. Tidak lupa selesai membual janji-janji berikan solusi masalah hidup yang mencekik para calon pemilih juga bawa sekadar bingkisan : ada yang berupa duit, sembako, dan lain-lain. Diberikan dengan ikhlas sebagai tali asih katanya.
Untuk mengantisipasi mereka yang stres tak terpilih, rumah-rumah sakit jiwa juga sedang sibuk siapkan tambahan kamar. Dipersiapkan khusus untuk calon yang stres ringan hingga berat dan berubah jadi gila. Dalam istilah bisnis, semacam strategi untuk membuka layanan tambahan pasar potensial musiman. Mereka sudah hapal.
Isi obrolan, omongan di segala tongkrongan dimana-mana bahasanya soal pemenangan. Kita harus menang! Menang menang dan menang. Entah menang untuk apa.
---
Rasanya hari ini sangat suntuk sekali. Udara siang yang terasa sejuk sepoi-sepoi tertutup mendung tidak membuatku bersemangat untuk segera beranjak pergi, tapi malahan membuat badan terasa malas. Aku memilih santai akhirnya di kursi teras rumahku. Kopi yang aku sruput bolak balik itu sudah terlihat kandas tinggal berupa sisa ampas-ampasnya. Tapi aku nekad dorong saja masuk ke mulut dan kucecap-cecap dan berharap tetesan terakhir masih bisa berikan kenikmatan.
" Selamat pagi Mas, apakabar? " tiba-tiba muncul dari balik pagar pendek rumahku seorang teman lama.
" Hei mas, baik mas. Sinilah masuk. Tumben sekali mau mampir ke rumah? ", jawabku basa basi.
" Ahh iya nih, kebetulan saja tadi pas melintas habis jalan kaki keliling keliling kok pas melongok ke rumah jenengan eh malah terlihat lagi ada di teras. Mampirlah saya...heheehehe...".
" Iya nih. Lama juga kita tak bersua ya. Dua abad kayaknya sudah ada...hahahaa...", jawabku basa basi.
Temanku ini adalah teman lama..dia aku kenal sejak masih kuliah. Seorang aktifis mahasiswa. Orangnya sangat idealis. Apa yang menurutnya benar baginya itu pasti dia perjuangkan habis-habisan. Urat syarafnya tidak pernah kendor kalau sudah urusan bela-bela orang kecil yang tertindas. Rasa takutnya juga tidak pernah terlihat dari guratan di wajahnya.
Waktu mahasiswa pernah aku bersama dengannya bela para pedagang asongan dan tukang becak yang digusur dari wilayah pojokan kampus. Kami berdua lakukan pembelaan sampai habis-habisan. Kami tidak mundur sebelum ada surat pernyataan kalau mereka tidak digusur. Alasanya jelas, mereka adalah bagian penting dsri kampus. Warga lokal yang selama ini telah tergusur dari kampus. Mereka itu juga korban kejahatan para intelektual yang selama ini direproduksi dari kampus. Jadi kami anggap tidak boleh gusur mereka.
Kalau urusan bela membela dia selalu paling depan. Bahkan ketika maju ke Mahkamah Konstitusi untuk minta pembatalan sebuah undang-undang soal ekonomi juga begitu. Siang malam buat rumusan serius untuk ajukan surat permohonan uji materi Undang-Undang sampai dengan ikuti sidang berjilid-jilid dia selalu pastikan hadir di persidangan.
Sarjana hukum ini adalah aktifis super serius. Kalau ketemu denganya itu yang ada di otaknya kalau tidak bahas soal ketatanegaraan yang semrawut di republik ini, pasti soal urusan rakyat kecil. Dia juga jenis orang yang jarang sekali aku dapati. Orangnya sangat konsisten. Hidupnya semua ditopang dengan cara berbisnis mandiri. Bisnisnya jualan barang-barang kelontong itu bahkan puluhan tahun bertahan dan maju pesat. Dia pernah bilang pada saya " kalau hidup itu gantungkan hidup pada orang lain dan dua pertiga dari waktu kita itu untuk bekerja diatur orang itu tanda kita masih belum merdeka".
Kata-katanya itu cukup menancap juga di batok kepalaku. Ada hubunganya atau tidak, tapi kata-katanya itu juga aku jadikan cara hidupku aku jalani seperti sekarang ini.
Dia juga tak hanya sukses membuat bisnis untuk dirinya sendiri, tapi juga membuat bisnis buat banyak orang. Dia dirikan koperasi yang saat ini saya dengar anggotanya sudah puluhan ribu orang. Bisnisnya berbagai macam rupa, dari toko, hotel, Travel, Event Organizer, wisata dan lain lain. Assetnya bahkan sudah ratusan milyar.
Orang hebat dan pemberani ini aku sering juluki sebagai mafia. Mafia kebaikan. Penjerumus kesesatan ke jalan yang benar. Hehehe.....
"Kamu tidak nyaleg mas? " tanyaku iseng.
"Walah, kamu kayak baru kenal aku saja", jawabnya enteng.
"Eh siapa tahu pingin nyapres kan ya coba-coba jadi Caleg dulu", jawabku sekenanya.
"Kalau saya ikut-ikutan jual kecap nomor satu, lah terus yang jual kecap nomor dua siapa dung", jawabnya.
" Eh siapa tahu....", timpaliku.
Dia bilang, masalahnya kenapa dia tidak nyaleg katanya dia itu paling berat kalau harus berjanji janji sama orang. Apalagi berbohong seperti para caleg-caleg yang ada. Dia bilang tubuhnya langsung sakit kalau berbohong. Dia langsung merasa resah dan gelisah.
" Saya lihat di Indonesia sekarang ini kan banyak dihuni oleh rakyat yang masih bodoh mas, jadi tugas saya adalah membangun kekuatan mereka agar tidak mudah dibodoh bodohi orang...biar tidak mudah ditindas dan diperas orang. Jadi kalau saya nyaleg terus aku harus ikut bodoh bodohi mereka terus apalah arti hidupku ini mas? ", kata dia.
Ampun ampunan memang orang ini. Dari dulu tidak pernah goyang sedikitpun prinsip hidupnya. Kalau sudah A ya dia lakukan A. Kupikir kan kalaupun A kan ada A plus.
Tidak ada yang bertambah dari hidupnya kalau sudah urusan prinsip. Dunia boleh berubah, tapi hanya dia yang tak berubah. Anehnya lagi, dia itu wajahnya juga begitu-begitu saja dari dulu. Cara berpakaian dan Style-nya tak juga berubah. Padahal teman-teman kami semua sudah mulai banyak yang beruban, perutnya mulai membuncit dan gayanya sudah bermewah mewahan. Termasuk teman(teman kami yang jadi politisi atau jadi pengusaha.
" Tak buatin minuman ya mas? " tanyaku.
" Eh jangan ndak usah mas..."Sahutnya cepat sembari tarik tanganku minta untuk tetap kembali duduk di kursi.
"Mas, kita buat gerakan yuk.... gerakan kecil-kecilan, gitu? ", tiba tiba dia katakan dengan wajah serius tidak biasa.
Dia ceritakan bahwa dirinya habis jalan jalan keliling Indonesia secara sengaja ke beberapa daerah daerah yang selama ini diberitakan oleh media massa dan sosial media. Dia lakukan perjalanan selama sebulan penuh. Dia ceritakan penderitaan banyak orang orang kecil di daerah yang dia kunjungi. Mereka adalah korban pengusaha tambang dan perkebunan, korban para tengkulak dan rentenir, korban penggusuran, dan banyak sekali. Lalu aku sambung-sambung dan tambahkan obrolan dengan buka soal-soal konspirasi kepentingan dari para elit politik dan pebisnis yang mereka amankan lewat berbagai regulasi dan kebijakan.
Bagaimana mereka itu sesungguhnya terus langgengkan kemiskinan dan kebodohan masyarakat kecil secara struktural. Bagaimana mereka mengatur seluruh undang-undang dan kebijakan dan termasuk membangun konspirasi dengan kepentingan asing.
"Berarti masalahnya ini sudah soal ideologis mas..... kita harus melawanya serius. Aku setuju dengan tawaranmu tadi. Cara mafia harus dilawan dengan gaya mafia juga. Kita harus terkoodirnir rapi, tak usah melibatkan banyak orang, tak usah ramai-ramai, tapi langsung tohok ke jantung jantungnya".
Kami pada satu kesimpulan. Lalu kami saling diam sejenak. Kopi pahit yang tinggal sisa ampas tadi aku coba paksa sodokin lagi ke mulut. Tapi sudah tak lagi ada yang mau jatuh menetes dikerongkongan.
Siang yang berbalut mendung semakin membuat suasana semakin damai. Kami saling menatap dengan wajah tatapan tajam. Kami tahu apa yang harus dilakukan setelah ini. [***]
*) Penulis buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme"