telusur.co.id - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penghentian supervisi dan penyidikan orang yang dianggap sebagai "king maker" pada kasus Djoko Tjandra.
"MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan untuk membebaskan Djoko Tjandra atas vonis penjara perkara korupsi Bank Bali," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dalam keterangannya,Senin (23/8/21).
MAKI telah menyiapkan sejumlah poin terkait materi praperadilan. Yakni pada 11 September 2020 MAKI mengirimkan surat elektronik kepada KPK Nomor: 192/MAKI/IX/2020 perihal penyampaian materi dugaan perkara tindak pidana korupsi Djoko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari untuk digunakan bahan supervisi.
Kemudian, MAKI diundang oleh KPK pada 18 September 2020 untuk memperdalam informasi terkait dengan "king maker" dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan.
MAKI menerima surat balasan dari KPK pada 2 Oktober 2020 perihal tanggapan atas pengaduan masyarakat sebagai balasan atas penyampaian materi dari MAKI berdasarkan surat MAKI tertanggal 11 September.
Surat KPK tersebut berisi pengaduan dari MAKI yang dijadikan bahan informasi untuk Kedeputian Bidang Penindakan KPK. Seterusnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara terdakwa Pinangki Sirna Malasari dan terdakwa lainnya.
Dalam pertimbangannya menyatakan keberadaan "king maker" sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari untuk membebaskan Djoko Tjandra dari kasusnya.
Namun, majelis hakim menyatakan tidak mampu menggali siapa "king maker" sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukannya sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari.
"Pada 30 Juli 2020, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan telah menghentikan supervisi perkara tersebut," ujarnya.
Tindakan KPK yang menghentikan supervisi atas kasus tersebut adalah bentuk penelantaran perkara yang mengakibatkan penanganan kasus menjadi terkendala untuk membongkar dan mencari "king maker".
Hal itu, adalah bentuk penghentian penyidikan perkara korupsi secara materi, diam-diam, menggantung dan menimbulkan ketidakpastian hukum.[Fhr]