telusur.co.id - Mantan Anggota Komisi Energi DPR RI Mulyanto mendorong Presiden Prabowo Subianto turun langsung memimpin pemberantasan beking tambang ilegal. Keberadaan beking ini harus diberantas secara tuntas oleh pimpinan negeri ini, karena diduga melibatkan orang-orang berpangkat dan berjaringan.
"Keberadaan beking itu bukan hanya merugikan keuangan negara tapi merusak lingkungan hidup. Karena itu keberadaannya harus dianggap sebagai musuh negara," kata Mulyanto, ditulis Senin (25/11/24).
Mulyanto menilai, keberadaan beking tambang ilegal, kian membahayakan. Perannya bukan hanya melindungi pelaku tambang ilegal agar tidak terjerat hukum, tapi mulai menyerang pihak-pihak yang coba memperkarakannya.
Mulyanto menyebut insiden tragis di Solok Selatan, Sumatera Barat, di mana ada polisi menembak polisi karena terkait tambang ilegal galian C, merupakan bukti tindakan beking makin membahayakan.
Sebelumnya ada pula kasus Ipda Rudy Soik di NTT yang mengungkap praktik penimbun BBM ilegal yang dibeking oknum polisi dan sekarang malah dipecat. Dalam kasus-kasus tersebut, terlihat yang menjadi korban justru adalah polisi baik.
Mulyanto menilai, penyebab semua itu karena Pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani berbagai kasus penyimpangan sumber daya energi nasional.
Misalnya, terlihat dari molornya pengesahan pembentukan Satuan Tugas Pertambangan Tanpa Izin (Satgas PETI). Padahal SK-nya tinggal menunggu tanda tangan dari Presiden.
"Padahal infonya sudah lama di tangan Presiden. Tapi belum ditandatangani,” kata Mulyanto.
Mandeknya pengesahan aturan yang akan dibentuk lewat Keputusan Presiden (Keppres) ini, membuat politisi fraksi PKS tersebut geram lantaran belakangan banyak kasus tambang ilegal yang menelan banyak korban. Karena itu, ia minta Prabowo segera membentuk Satgas PETI ini.
Keberadaan Satgas PETI penting untuk memberantas pertambangan ilegal yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga menyangkut keselamatan masyarakat.
"Alih-alih membentuk Satgas PETI, pemerintah lebih fokus pada aspek pengawasan lewat Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (SIMBARA)," kata Mulyanto.
Mulyanto menyebut, SIMBARA memang dibuat untuk meminimalisasi potensi kebocoran-kebocoran yang salah satunya disebabkan para penambang ilegal. Ia mendukung keberadaan sistem pengawasan digital lintas Kementerian ini.
Namun demikian, tanpa ada lembaga khusus yang menangani perkara ini, menurut Mulyanto tambang ilegal akan tetap marak terjadi.
“Tapi kalau tidak ada satgas tambang ilegal yang powerfull akan sulit diberantas. Apalagi adanya beking aparat,” jelasnya.
Untuk diketahui, kasus polisi tembak polisi ini terjadi di Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), Jumat (22/11/2024),
Insiden tragis ini diduga terkait dengan konflik mengenai penanganan tambang ilegal galian C di wilayah itu. Penembakan itu berawal dari tindakan tegas polisi terhadap penambang ilegal di Solok Selatan.[Fhr]