telusur.co.id - Dalam beberapa waktu terakhir, Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran telah menjadi perbincangan hangat di kalangan jurnalistik dan peneliti media. Menanggapi fenomena itu, Pakar Media Universitas Airlangga (UNAIR), Irfan Wahyudi, S.Sos., M.Comm., Ph.D memberikan pandangan yang mendalam.
Irfan menilai, RUU yang diusulkan dapat mempengaruhi dinamika media saat ini, termasuk media cetak siaran dan digital. Ia menekankan bahwa setiap media memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi cara informasi disampaikan dan diterima oleh publik.
“Draft RUU ini berpotensi mempengaruhi dinamika media saat ini. Untuk informasi yang lengkap dan mendalam, media cetak masih menjadi pilihan utama. Sementara itu, penyiaran memberikan pendalaman dalam format audiovisual, dan platform digital menawarkan kecepatan penyampaian informasi meski hanya sekilas,” jelas Irfan kepada Unair News. Kamis, (16/5/2024).
Dalam mengatur media di era digital, Irfan menekankan pentingnya peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Lebih lanjut, Ia mengkritik bahwa, KPI tidak boleh hanya menjadi ‘stempel’ kebijakan pemerintah. Menurut Irfan, pembuat kebijakan harus memahami esensi jurnalisme dan tidak merasa paranoid terhadapnya.
Dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik, Irfan menekankan pentingnya harmonisasi antara KPI dan DPRS. Dalam hal ini, ia menyarankan agar RUU Penyiaran memfasilitasi diskusi dan kerja sama yang efektif antara kedua lembaga tersebut.
“Jika RUU ini malah menimbulkan perselisihan, itu tidak akan menguntungkan siapa pun. Kedua lembaga ini memiliki wilayah kerja masing-masing dan sebaiknya dapat bekerja sama tanpa konflik kepentingan. Dengan begitu, akan tercipta ekosistem media yang lebih sehat dan transparan,” tegasnya.
Irfan menyarankan untuk mempertimbangkan RUU itu dengan seksama. Pasalnya, RUU tersebut berperan penting dalam mengakomodasi kebebasan pers dan pengembangan karya jurnalistik yang berkualitas.
“Media dan jurnalis harus responsif terhadap potensi yang ada. Sudah ada protes yang dilayangkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta masukan dari berbagai lembaga dan individu pemerintah,” sambung Irfan.
Tidak hanya itu, Irfan juga menambahkan bahwa, pembuat kebijakan harus terbuka untuk berdiskusi dengan berbagai elemen, termasuk lembaga independen.
“Pembahasan RUU ini tidak hanya dilakukan dalam lingkaran kekuasaan saja, melainkan harus melibatkan lembaga-lembaga independen yang berkecimpung dalam jurnalisme. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan mampu mencerminkan kebebasan dan keadilan pers,” tuturnya.
Alih-alih, Irfan juga menyarankan agar RUU Penyiaran mendukung ekosistem digital dan tidak menghambat penyebaran informasi. Dalam hal ini, masyarakat harus terlibat dalam inovasi teknologi yang mendukung akses digital dan literasi digital. (ari)
Menapaki Jejak Orde Baru, RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers
Ilustrasi Pers sebagai sumber informasi (doc: Unsplash)