Mendiskusikan Konflik di Daerah Tambang - Telusur

Mendiskusikan Konflik di Daerah Tambang


Telusur.co.id - Oleh Yusuf Hasani (Direktur Maluku Utara Government Watch Dan Pendiri Garda Bumi Putra)

Konflik pada hakekatnya adalah adanya pertentangan antara dua pihak, pada kajian ini penulis mengambil contoh konflik masyarakat dengan perusahaan tambang di Hamahera Timur dan Konflik Karyawan atau mantan Karyawan dengan PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) di Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. 

Kedua konflik ini berakibat, pelaporan polisi, penangkapan dan penahanan terhadap warga dan karyawan-mantan karyawan, sebelumnya terjadi aksi protes warga yang tanahnya diduga dirampas oleh perusahaan dan aksi penuntutan hak-hak karyawan yang belum dibayar NHM. Secara historis kedua daerah ini berada dalam wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore, mirisnya bala (rakyat)nya tengah berjuang mempertahankan haknya, kedua kesultanan seperti masih nyenyak dalam tidur panjang. 

Memang ada mediasi oleh Pemerintah Daerah, tapi tak jelas proposal mediasi yang ditawarkan oleh mediator seperti apa, sehingga persoalan ini belum menemukan jalan penyelesaian. Tugas utama mediator dalam penyelesaian konflik adalah menemukan akar masalah, bila sudah ditemukan akar masalah, maka mudah pula menemukan cara penyelesaiannya. Fungsi mediator atau pihak ketiga adalah membantu-mempertemukan kedua pihak yang berkonflik tentu dengan proposal (usulan) draf materi penyelesaian. Posisi mediator sebagai penengah- bersikap netral, tidak boleh berpihak serta berupaya meyakinkan para pihak agar bersedia duduk dimeja perundingan dan menerima usulan materi penyelesaian yang ditawarkan.

Adapun cara penyelesaian konflik yang paling efektif adalah win-win solution (menang-menang). Ada cara lain yang dinilai efektif adalah kearifan local. Perlu diketahui bahwa tidak semua konflik diselesaikan melalui pengadilan (litigasi), Secara sosiologis, penyelesaian konflik yang ada lebih tepat di luar pengadilan (non litigasi). Sejarah mencatat penyelesaian konflik social Maluku Utara beberapa tahun silam diselesaikan dengan pendekatan non litigasi. 

Menurut Rahman ( 2002) Penyelesaian konflik di luar pengadilan “merupakan upaya untuk mendorong terjadinya peningkatan - keutamaan musyawarah dalam mencari kesepakatan dari para pihak yang berkonflik dengan berlandaskan pada prinsip keadilan proporsional dan mufakat” sebagaimana penyelesaian konflik Sosial Maluku Utara dilakukan bapak Haji Jusuf Kalla, sebagai mediator dalam perundingan damai di Malino I dan II Sulawesi Selatan dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR).

Menghadapi kasus ini tampaknya pemerintah daerah seperti mati akal dan mati rasa. Pada saat yang sama warga masyarakat dan karyawan terancam hukuman penjara oleh Polda Maluku Utara dan Polsek Malifut Halmahera Utara. Pertanyaan besarnya adalah apakah adil perlakuan hukum terhadap warga dan karyawan dibanding dengan pihak perusahaan? Apakah benar kesalahan hanya ada pada karyawan dan warga masyarakat?, sementara perusahaan dianggap tidak bersalah ? Itu sebabnya masyarakat dan mahasiswa mendesak pembebasan warga yang ditahan. Keputusan Pemerintah daerah dalam kasus ini tidak cukup dengan alasan menjaga pertumbuhan ekonomi sekian digit dan stabilitas investasi. Pemerintah wajib mempertimbangkan secara sungguh-sungguh hak karyawan dan hak historis masyarakat adat, tentu dengan timbangan keadilan. Mengingat sebelum ada negara Indonesia, Kesultanan -Kesultanan di Maluku Uatara adalah negara berdaulat. Rakyat dari kesultanan adalah masyarakat adat artinya masyarakat adatlah pemilik sesungguhnya. Tidaklah tepat perlakuan terhadap masyarakat adat seperti orang asing yang harus disingkirkan demi kepentingan perusahaan. Suatu ketika, kepada penulis, Sultan Ternate  Haji Mudafar Sjah (almarhum) berkata “ tanah di negeri ini dari ombak pukul-pukul sampai puncak gunung ada tuannya” artinya tanah di negeri Maluku Kie Raha (sekarang Maluku Utara) dari pesisir pantai sampai dengan puncak gunung ada pemiliknya. Dengan kata lain, masyarakat adat memiliki hak ulayat. Oleh karena itu, saatnya Gubernur Sherly Tjoanda, tunaikan janji kampanye mensejahterakan rakyat dan membela kepentingan masyarakat Maluku Utara, agar kelak tidak disebut ternak Mulyono. Tindakan pemolisian itu penting, lebih elok kedepankan fungsi pengayomandan perlindungan. Pendekatan keamanan hanya selesai di permukaan, tapi tidak selesai secara lahir dan batin. Sesungguhnya pendekatan dialog lebih arif, maka bicaralah dari hati ke hati, bermusyawarah lah dengan cara yang beradab, masyarakat juga manusia yang punya hati - nurani, harapan dan cita cita.

Masyarakat menyadari betul bahwa kehadiran perusahaan tambang di suatu daerah, menambah pendapatan asli daerah (PAD), membuka lapangan kerja, itu segi positifnya, sebaliknya sisi negatifnya warga tetap dirugikan, karena kehilangan harta benda seperti, mata pencarian, lahan, pohon pala, sagu, cengkeh pohon kelapa dan seterusnya, belum lagi soal, banjir tanah longsor dan pencemaran. Merujuk pada hasil penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako mengkonfirmasikan telah terjadi pencemaran beberapa jenis ikan di daerah sekitar tambang, adanya warga dan pekerja dikawasan industri nekel terkontaminasi dua logam berat merkuri dan arsenic, hingga melebihi batas aman (Tempo,28/5). Temuan akademis yang menjadi fakta ini hendaknya dilihat secara serius, karena menyangkut nyawa manusia dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk menjawab masalah ini pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten dimana terdapat perusahan tambang, disarankan melakukan koreksi total atau evaluasi menyeluruh melalui langkah konkrit. 

Menurut penulis Pemda Provinsi dan Kabupaten, Ketua DPRD Provinsi dan Ketua DPRD Kabupaten membentuk tim independent. Keanggotaan tim terdiri dari para ahli untuk melakukan beberapa hal antara lain: (1) Melakukan audit lingkungan, memeriksa aktivitas analisa dampak lingkungan(Amdal) internal perusahaan; (2) Memeriksa persyaratan keamanan kerja, masa berlaku izin bahan peledak, alat pengolahan limbah dan lain-lain; (3) Menelusuri proses keluarnya IUP (ijin usaha pertambangan) dan pembebasan lahan yang dikuasai perusahaan dan hak-hak karyawan (gaji dan pesangon) yang belum terbayar oleh pihak perusahaan; (4) Permohonan Pemda Malut ke Kementerian Lingkungan Hidup membentuk tim terpadu melakukan penelitian diseluruh daerah yang terdapat aktivitas pertambangan di Maluku Utara, sebagaimana halnya pemerintah pusat melakukan terhadap kasus pencemaran di Teluk Buyat Minahasa Selatan; dan (5) Menelusuri  proyek tambang yang ada termasuk Proyek Strategi Nasional (PSN) atau tidak, jika terdapat perusahaan swasta yang dilabelkan PSN, berarti ada kesamaan modus dengan  proyek Pantai Indah Kapuk (PIK 2) Tangerang Banten dan Rempang di Batam, Jika demikian keadaannya, maka patut diduga, memungkinkan penggunaan instrumen negara untuk menindas rakyat, seperti kasus Rempang dan PIK 2. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah daerah berkewajiban menolak perusahaan swasta yang dilabelkan PSN.


Tinggalkan Komentar