telusur.co.id - Jurnalisme sains (Science journalism) semakin mendapat tempat di era informasi digital yang serba cepat. Kecepatan informasi yang memunculkan masalah baru berupa disinformasi dan misinformasi di berbagai kanal sosial media, memberi peluang baru kepada jurnalisme sains untuk dapat bersinar.
Meski sering dianggap sebagai cabang dari jurnalisme, jurnalisme sains memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan ‘genre’ jurnalisme lainnya. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM UNAIR), Ilham Akhsanu Ridlo S.Kes., M.Kes. menjelaskan bahwa, jurnalisme sains tidak hanya mengikuti kode etik umum jurnalisme.
Menurut Ilham jurnalisme sains berperan penting dalam menyederhanakan literasi ilmiah agar mudah dipahami oleh masyarakat umum. Ia juga menyebutkan bahwa ekosistem komunikasi sains harus mengkaji proses ilmiah di balik fenomena sosial. Hal ini melibatkan eksperimen riset, manfaat yang dihasilkan, hingga dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
"Science journalism harus mematuhi prinsip melayani publik, dengan tujuan memberikan informasi yang bermanfaat. Misalnya, selama pandemi science journalism berperan penting dalam menyajikan panduan informasi yang akurat dan tidak bias kepada masyarakat," beber Ilham. Senin, (19/8/2024).
Ilham mengaku bahwa, ia tertarik dan menekuni riset mengenai jurnalisme sains karena pengalamannya sebagai akademisi selama pandemi. Saat menyusun proposal disertasinya, ia menyadari pentingnya kajian mendalam untuk meningkatkan efektivitas advokasi kebijakan kesehatan di masa krisis.
"Saya melihat jurnalisme sains sebagai cara efektif untuk mengangkat riset agar mendukung kebijakan berbasis bukti. Ini juga merupakan cara untuk mempopulerkan sains kepada masyarakat luas, termasuk pembuat kebijakan dan publik awam," tegasnya.
Sebagai dosen kebijakan kesehatan, Ilham menilai jurnalisme sains berpotensi besar untuk mengisi gap antara proses ilmiah dengan proses kebijakan kesehatan. Ia juga menekankan pentingnya kontribusi jurnalisme sains khususnya untuk isu global seperti kesehatan planet.
“Sebagai dosen dan peneliti, kami dituntut untuk menemukan area kajian baru. Saya melihat ada ruang yang belum banyak dikerjakan oleh orang lain (peneliti). Maka dari itu, saya memutuskan untuk mengkaji tentang science journalism,” urainya.
Prospek Karir
Ilham melihat prospek jurnalisme sains cukup menjanjikan di masa depan. Misalnya, negara Australia dan Singapura menawarkan posisi komunikator dan jurnalis sains di lembaga riset dan humas universitas.
Di Eropa, tempat Ilham saat ini belajar, banyak proyek riset yang membuka peluang di bidang sains, teknologi, dan kesehatan. Namun, lanjutnya, pekerjaan di bidang ini masih sangat bergantung pada iklim ilmiah, industri media, dan ekosistem digital di masing-masing negara.
"Iklim media kita sangat mempengaruhi jangkauan konten berbasis sains. Di Indonesia, ada beberapa kendala yang menghambat perkembangan science journalism. Sedangkan di Eropa dan Amerika, profesi ini telah berkembang pesat," sebut Ilham.
Ilham menambahkan, jurnalis sains dapat berperan sebagai peneliti dalam memahami publik tentang sains. Selain itu, mereka juga dapat meniti karir sebagai komunikator sains independen.
“Meskipun prospek ini menghadapi tantangan dari perkembangan media sosial dan ekosistem digital. Namun, sains akan tetap menjadi topik yang relevan dan penting di masa depan,” tukasnya.
Selanjutnya, Ilham menekankan pentingnya kolaborasi antara jurnalis dan ilmuwan untuk memastikan kualitas informasi yang diterima publik. Tidak hanya penguasaan konsep ilmiah dan keterampilan jurnalistik, Ilham menyebutkan bahwa persiapan yang matang dan mengikuti perkembangan global adalah kunci sukses di jurnalisme sains.
"Jurnalis sains perlu memverifikasi laporan mereka dengan ilmuwan karena ilmu pengetahuan seringkali spesifik dan rumit. Di sisi lain, ilmuwan mendapat manfaat dari jurnalis yang mampu menyederhanakan jargon ilmiah untuk menjangkau publik," tutup Ilham. (ari)