Penulis: Oleh: Agus Wijayanto (Praktisi Hukum, Penulis Budaya, Sejarah, Hukum dan Politi).
Saat bangsa kita bangsa yang sebetulnya merupakan bangsa yang sangat berbudaya dan memegang teguh toleransi , sebagai bagian dari karakter bangsa, di jajah dan dikuasi oleh Bangsa Eropa yaitu Bangsa Belanda , dianggap kaum pribumi ( orang Indonesia asli dalam suku suku yang ada dalam masyarakat kita di Nusantara ) disebut "Inlanders" yaitu sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi atau penduduk asli Indonesia saat itu, yang mana bangsa Eropa pada umum nya menganggap diri nya sebagai bangsa yang derajat nya lebih tinggi dari bangsa Kita .
Atas dasar penghinaan itulah , maka para pendiri bangsa Baik Bapak Bangsa maupun ibu bangsa , yang telah merasakan pahit getirnya masa penjajahan saat itu, berpikir saat masa revolusi dalam sidang BPUPKI maupun dalam sidang PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) dengan membentuk panitia kecil yang diketuai Ir Soekarno saat itu , untuk merumuskan pasal pasal dalam sebuah Kontitusi sebagai hukum dasar sebagai dasar dan syarat berdiri nya sebuah negara yang berdaulat,
Para pendiri bangsa paham betul untuk Indonesia kedepan , sebutan Inlanders akan tetap terulang dalam kontek dan waktu yang berbeda , saat negara kita merdeka , maka disepakati lah para pendiri bangsa saat itu dalam Hukum Dasar kita , bahwa syarat sebagai seorang presiden adalah harus orang Indonesia Asli ( Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang murni belum dilakukan amandement . Untuk menjamin tetap terlindung nya Rasa Nasionalis dan Menjaga Karakter bangsa nya , sebagai bangsa yang tetap berjiwa Ke Indonesiaan , dengan pertimbangan situasi Global saat itu terjadi nya persaingan Fasisme, Sosialisme, Lineralisme dimana Sekutu beserta negara Eropa sebagai pemenang perang dunia ke dua. Sebagai bangsa yang baru berdiri sangat disadari betul harus berprgang teguh pada adat tata cara dan martabat sebagai bangsa Timur, dan itu hanya bisa dipertahankan jikalau presiden nya tetap orang Indonesia asli.
Prof Hendro Priyono dalam opini nya di detikNews tanggal 10 Januari 2024, menulis , bahwa fenomena Inlanders ini pun terjadi saat ini yang mana saat jaman sudah mencapai kemerdekaan hampir 80 tahun , dengan segala hiruk pikuk nya , menyatakan dalam opini nya " Undang Undang nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi, ras, dan etnis , telah disalah gunakan oleh beberapa oknum keturunan Arab untuk melakukan tindakan tindakan rasis terhadap kaum pribumi bangsa Indonesia, diantara nya fenomena tersebut adalah pernyataan terbuka dari seorang habib bahwa belajar dari habib lebih baik dari pada belajar agama dari para kyai pribumi .Habib adalah istilah ras Arab yang mengaku derajatnya lebih tinggi dari pada bangsa pribumi , karena adanya nazab keturunan langsung ke Rosullullullah SAW, padahal saat Islam masuk ke Jawa dari wali songo , menggunakan pendekatan budaya, yang berurat berakar pada masyarakat saat itu,
Sejarawan Islam dari universitas Padjajaran Bandung , Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan bahwa " Habib " memang menjadi sebutan antropologis untuk orang orang Hadramaut yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali., dimana keturunan Arab dari Hadramaut Yaman tersebut diawali imigrasi ke Indonesia , dan keturunan cucu Husain dari kawasan Yaman hadramaut bernama Alawi , yang di Indonesia disebut Alawiyin .biasanya keturunan Alawiyin inilah yang disebut Habib , dimana habib sendiri hanyalah sebutan , sedang kan gelar resminya adalah Sayyid yg perempuan sayyidah .
Di Indonesia keturunan Alawiyin membentuk sebuah organisasi yang salah satunya tugas nya adalah pencatatan silsilah keturunan Nabi. Organisasi ini bernama Rabithah Alawiyah yang berdiri sejak tahun 1928, yang pada umum nya masyarakat keturunan Arab secara tradisi sangat mementingkan silsilah , ini yang mungkin menjadi pemicu kadang merasa derajat nasab nya lebih tinggi dari orang asli pribumi , yang menimbulkan dan berakibat timbul masalah diatas yang memang hanya dilakukan oleh oknum habib , bukan secara organisatoris. Dan dalam masa fase tahun politik selalu digunakan untuk menarik massa dengan basis keagamaan . Sedangkan di Indonesia adalah bukan negara Agama tapi negara yang melindungi seluruh umat beragama .
Adanya fenomena tersebut , berimbas pada politik praktis yang mana saat pilkada secara langsung , pada masa lalu terjadi fenomena politik identitas yang menjurus pada pemecah belah umat dan masyarakat ,
Ini yang jauh jauh masa waktu , para pendiri Bangsa Baik dari Bapak Bangsa maupun ibu Bangsa , sudah memprediksi dengan jangkauan melampau jaman ratusan tahun kedepan , hingga dalam membentuk pasal pasal Kontitusi sebagai dasar negara kita, mensyaratkan presiden harus orang Indonesia asli.
Setelah dilakukan amandemen hingga empat kali, yang lalu merubah format dari UUD 1945 , dari presiden harus orang Indonesia asli , menjadi calon presiden dan wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain ( pasal 6 UUD 1945 hasil amandemen ) hal ini berimplikasi , bisa saja calon presiden dan wakil nya dari keturunan , Eropa, Yahudi, Afrika, Chines , atau Arab yang penting lahir di Indonesia dan telah menjadi warga negara Indonesia.
Menapak tilas kembali awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara kebangsaan ( Nation State) adalah Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia , dengan sadar dan didorong spirit Nasionalisme mencanangkan dan menggelorakan pembangunan karakter bangsa / watak bangsa ( Nation Characters Building ) , dimana Reasoningnya jelas bahwa untuk mengisi kemerdekaan harus dilandasi watak / karakter bangsa yang kuat tangguh dan mandiri dalam arti bukan watak bangsa terjajah tapi watak bangsa merdeka.
( Prof Dr I Gede Pantja Astawa SH MH dalam kata sambutan buku Membangun Karakter anak bangsa melalui ajaran leluhur )
Dalam kontek ini menjadi sangat relevan saya kutip isi pidato presiden Soekarno yang antara lain menyatakan :
" Saudara saudara sebangsa dan setanah air, kalau jadi Hindu ,janganlah jadi orang India, kalau jadi Islam ( Moeslim.) Janganlah jadi orang arab , kalau jadi Kristen , janganlah jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara , dengan adat istiadat yang kaya raya ini dari leluhur kita "
Ingatlah saudara saudara, musuh yang paling berat adalah rakyat kita sendiri yang mabuk budaya luar yang kecanduan agama , dan rekan membunuh bangsa sendiri demi budaya luar dan agama yang diyakini nya , maka janganlah mau diperbudak oleh semua itu, jadi lah bangsa dan orang Indonesia "
Itu adalah pidato sang Proklamator presiden pertama RI yang masih relevan untuk di gelorakan hingga saat ini, lebih lebih menjelang pemilihan Presiden dan wakil presiden , harus menutamakan persatuan dan kesatuan anak bangsa, jangan sampai terbelah demi politik praktis , dan selalu waspada atas intervensi asing yang ingin mencampuri dan mencari keuntungan atas pesta demokrasi ini, harus tetao ditekan kan pengabdian yang total terhadap bangsa dan negara serta cinta tanah air , jangan sampai kita jadi bangsa inlanders yang dianggap rendah oleh Bangsa lain , jangan lagi ada anggapan dari sesama anak bangsa bahwa keturunan Raa tertentu lebih bagus karena nazab hingga terkesan meng inlenders kan sesama anak bangsa yang lain, karena kita hidup di bumi dan negara Kesatuan RI, harus saling asah asih asuh , kita harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah terhadap semua bangsa di dunia ini , sebagai bangsa yang Merdeka dan Bermartabat ,
Euforia semangat Reformasi telah membuat kita terlena , hingga mabuk kebebasan yang merakibat keblablasan, hingga tidak sadar kita telah menghilangkan tatanan aturan dalam hukum dasar kita yang merupakan soko guru tiang utama dari Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Mari bangun lah kita dari tidur dan mimpi disiang hari ,
Jakarta , 12 Januari 2024.
Agus Widjajanto ,
Seorang praktisi hukum, penulis budaya, sejarah dan hukum serta politik.