Oleh: Suroto*
Kelangkaan dan mahalnya minyak goreng bahan baku dari kelapa sawit sempat membuat geram masyarakat lebih dari empat bulan. Berbagai kebijakan telah diambil pemerintah namun seperti lumpuh tak berpengaruh. Masalahnya, selalu masyarakat yang lemah, apakah itu petani sawit rakyat ataupun konsumen rumah tangga minyak goreng selalu yang paling dirugikan.
Banyak faktor yang pengaruhi kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng bahan baku dari kepala sawit untuk kebutuhan domestik akhir akhir ini. Utamanya karena peningkatan permintaan kebutuhan pasar internasional paska Covid 19 yang mulai mereda, dan juga krisis energi akibat perang Ukraina. Namun ironisnya, kita adalah produsen kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng yang mensuplai 60 persen pasokan dunia.
Jauh sebelum terjadi gonjang ganjing minyak goreng, sesungguhnya petani sawit rakyat juga sempat jadi korban permainan harga. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit atau sawit rakyat mandiri sebetulnya pernah anjlok cukup drastis. Di awal tahun 2021 di lapangan harganya bahkan pernah mencapai 375 rupiah per kg.
Padahal, untuk mencapai break event point (BEP), petani sawit harus mendapatkan harga 1.100 rupiah per kg.
Pemerintah lalu mengambil kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) untuk menyelamatkan harga TBS terutama untuk petani sawit rakyat dengan membeli untuk kebutuhan Biofuel domestik. Harga yang juga dipengaruhi permintaan kebutuhan pasar internasional meningkat terus dan pada puncaknya terakhir harga TBS berada dalam kisaran 3.000 hingga 3.400 rupiah per kg.
Begitu Covid mereda dan kebutuhan minyak sawit internasional terus merangkak naik, pebisnis utama sawit mulai memprioritaskan pasar internasional dan terjadilah kelangkaan minyak goreng berbahan baku sawit. Harga Crude Palm Oil (CPO) tercatat meningkat tajam hingga 50-an persen. Hal ini mendorong pebisnis sawit menggenjot eksportasi.
Hukum besi bisnis memang demikian, dimana ada keuntungan lebih besar, kesanalah semua barang akan dijual. Masalahnya masyarakat konsumen rumah tangga dan terutama usaha kuliner kelas mikro dan kecil yang sangat membutuhan minyak goreng yang jadi korbanya. Harga melonjak dan bahkan sempat alami kelangkaan.
Kebijakan pemerintah pun jadi bulan bulanan. Pemberian subsidi kepada eksportir atas selisih harga domestik dan internasional tidak membuat pengusaha bergeming. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dengan memaksa penyediaan stok kebutuhan minyak sawit dalam negeri tetap tidak efektif. Bahkan menyisakan masalah adanya dugaan korupsi pejabat di Kementerian Perdagangan dengan para eksportir.
Pemerintah bahkan seakan kebingungan. Bahan baku minyak goreng dikatakan telah terpenuhi dan melimpah untuk kebutuhan domestik, namun kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng tetap terjadi. Kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) hingga 14 ribu rupiah tetap tak dapat turunkan harga.
Hingga terakhir pada tanggal 28 April 2022 pemerintah mengambil kebijakan melarang keseluruhan eksport minyak sawit meliputi Crude Palm Oil (CPO), RPO, RBD Olien, POME dan Used Cooking Oil sampai akan terjadinya stabilitas harga.
Masalah Sesungguhnya
Masalah yang terjadi sebetulnya bukan semata akibat permainan pengusaha sawit. Tapi justru ada pada pemerintah. Pemerintah telah membuat struktur bisnis industri sawit berada dalam gengaman oligopolistik di tangan beberapa gelintir pengusaha yang menguasai hulu hingga hilir dari industri sawit.
Kebijakan pola PIR (Plasma Inti Rakyat) yang diharapkan kebun plasma sawit rakyat lebih banyak saat ini justru yang terjadi sebaliknya. Perkebunan besar milik perusahaan swasta justru dominan.
Dari 15,08 juta hektar, Perkebunan Besar Swasta menguasai seluas 8,42 juta ha (55,8%), perkebunan besar negara seluas 579,6 ribu hektar (3,84%). Perkebunan rakyat hanya seluas 6,08 juta hektar atau (40,34%). Total produksi sebanyak 49,57 juta ton.
Perkebunan plasma rakyat yang diharapkan dominan kalah oleh perkebunan besar inti milik swasta. Perusahaan plasma hanya bergerak di sektor on farm (budidaya) yang dibiarkan bergantung sepenuhnya pada pabrik kelapa sawit (PKS) milik perusahaan inti yang juga bermain hingga sampai industri hilirnya.
Pemerintah sejak terapkan kebijakan penggunaan minyak sawit untuk Biofuel juga telah berikan kemewahan kepada pengusaha perkebunan swasta besar sawit. Mereka menikmati hampir 80 persen dari total pengeluaran dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPS).
Sedangkan untuk penyediaan dana dan subsidi untuk peremajaan pohon bagi petani sawit rakyat justru diabaikan. Akibatnya, dari sekitar 24 pengusaha perkebunan sawit, 5 dari mereka menguasai lebih dari separuh produksi sawit kita.
Petani sawit rakyat juga harus hadapi masalah ketersediaan pupuk karena jalur distribusi pupuk yang disubsidi APBN selama ini dibiarkan liberal jatuh ke tangan swasta. Padahal kita tahu barang subsidi itu secara teori termasuk barang publik yang jalur distribusinya musti secara khusus dapat dikendalikan dengan efektif.
Tidak bisa hanya dilakukan pengawasan oleh kepolisian, justru membuat semakin blunder, tapi harus dilakukan rekayasa kelembagaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban setiap saat. Seperti jaman Orde Baru dulu misalnya melalui Koperasi Unit Desa (KUD).
Malaysia Sebagai Pembanding
Dalam segi produktifitas, maupun kelembagaan serta tata kelola, industri sawit kita memang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Malaysia sebagai produsen nomor dua. Walaupun mereka nomor dua dari jumlah produksi, tapi petani sawit rakyat mereka bahkan memperkerjakan buruh buruh migran kita baik secara legal maupun ilegal.
Memprihatinkan lagi, bahkan Malaysia itu juga menguasai investasi di perkebunan kita dan akhirnya merekalah yang kendalikan terutama soal harga. Malaysia nomor dua tapi merekalah pembentuk harga atau sebagai price maker.
Malaysia perusahaan sawit swastanya diimbangi oleh perusahaan Koperasi FELDA yang dikembangkan oleh pemerintah sendiri dari penguasaan lahan hingga pengembangan pabrik pengolahanya bersama petani rakyat. Sehingga perusahaam swasta tak bisa bertindak semaunya tanpa perhatikan kepentingan nasional.
Dalam sistem FELDA yang prioritasnya sebetulnya untuk lakukan program reforma agraria ini, berikan lahan kepada petani kecil seluas 10 hektar per keluarga petani agar masuk dalam skala ekonomi. Mereka juga ikut kendalikan industri sawit secara keseluruhan karena perusahaan holding koperasi FELDA ini ada di semua industri terkait dengan sawit dan termasuk menikmati untung investasi sawit di Indonesia. Sehingga petani sawit mereka menjadi sejahtera.
Koperasi Publik Sawit
Untuk itu, jika pemerintah ingin melakukan stabilitas harga secara permanen maka harus berani lakukan perubahan besar. Seperti misalnya membentuk holding Koperasi Publik Sawit semacam FELDA di Malaysia.
Caranya juga mudah saja, pemerintah cukup lakukan konversi sebagian saham perusahaan BUMN yang terkait dengan industri sawit seperti PTPN, Bulog, dll atau perintahkan lakukan penyertaaan modal di koperasi publik yang dibentuk secara nasional. Kemudian integrasikan semua kebun rakyat mandiri dalam Koperasi Publik Sawit tersebut demi menjaga kendali agar tetap ada di tangan petani rakyat basis keluarga, bukan ke tangan para konglomerat.
Melalui kepemilikan bersama antara petani rakyat dan pemerintah ini kemudian bangun pabrikasi sawit dan minyak goreng, buat jalur distribusi khusus untuk minyak goreng yang menjadi bagian dari holding, kembangkan dukungan logistik, keuangan, asuransi, penyaluran pupuk dan lain lain ke dalam
Koperasi Publik Sawit tersebut. Kepemilikan demokratis koperasi ini juga akan berfungsi ganda. Selain menjaga fungsi keseimbangan pelaku usaha di industri sawit juga akan memberikan distribusi nilai tambah ekonomis dan sosial lebih luas.
Kepemilikan yang luas dari koperasi publik sawit ini diharapkan juga akan mendorong bagi kemudahan dalam pengambilan keputusan untuk kendalikan dampak negatif bagi lingkungan dari perkebunan monokultur ini dan juga menghapus sepenuhnya berbagai konflik lahan yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat karena perusahaan koperasi ini juga dimiliki oleh petani sawit.
Koperasi publik sawit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah ini juga akan berfungsi untuk merestrukturisasi pasar monopoli atau oligopoli dari industri sawit dari sektor hulu sampai hilir yang selama ini hanya dikuasai segelintir pelaku usaha. Ini berarti selesaikan masalah secara mendasar dan termasuk stabilkan harga secara permanen.
Kontrol demokratis dan tata kelola koperasi publik dengan libatkan suara semua perwakilan dalam keputusan bisnis juga akan mendorong munculnya banyak ide dan gagasan yang memberikan manfaat lebih adil, tata kelola industri yang lebih transparan.
Harapan terjadinya stabilitas harga minyak goreng serta kesejahteraan bagi petani sawit akan terwujud hanya jika solusi fundamental dan integratif demikian dapat dilakukan. Tanpa rekayasa kelembagaan, penataan penguasaan konsesi lahan, dan tata kelola industri sawit secara keseluruhan akan sulit diharapkan. Semua masalah hanya akan mendapat solusi simtomik dan tambal sulam serta munculkan potensi moral hazard dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)