telusur.co.id - Demokrasi Indonesia tercoreng, kala terjadi peristiwa berdarah yang terjadi pada 21-22 Mei 2019, kala itu banyak rakyat yang menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan oleh para oknum aparat. Namun pun sama, aparat banyak yang mengalami hal yang serupa.
Peristiwa berdarah 21-22 Mei 2019 tidak bisa hilang dari ingatan, karena itu merupakan potret kita dalam berdemokrasi. Lantas kemana para pejuang HAM, atau Komnas HAM kala itu dan kini, seakan melupakan, pada hal ada korban jiwa yang jatuh bahkan tertembak?
Tidak hanya tindakan kekerasan yang terjadi, para pendukung Presiden Prabowo pun ditangkap dan dipenjara, menjadi tahanan politik.
Mereka berjuang demi seorang yang mereka cintai kala itu dan kini, yakni Prabowo Subianto. “Sebagai masyarakat Indonesia, memaafkan itu mulia sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adab dan etika, tapi untuk melupakan kami bilang tidak!!!
saya Haji Kurniawan sebagai yang dituakan dalam kelompok eks tapol 21-22 Mei 2019 kembali menyuarakan dengan lantang kepada seluruh rakyat Indonesia rakyat Indonesia khususnya Bapak Prabowo Subianto yang saat ini sudah menjadi Presiden Republik Indonesia untuk tidak boleh lupa atau bahkan sengaja melupakan bahwa pada tagal 21 dan 22 Mei pernah terjadi tragedi kelabu atau tragedi pilu yang sangat mencederai demokrasi di negeri ini,” ujarnya.
Diungkapkan H.Kurniawan, ada ratusan anak-anal bangsa yang semuanya pendukung Prabowo menjadi korban kebiadaban oknum institusi negara dan juga menjadi tumbal kepentingan politik golongan tertentu, banyak yang luka dan cacat serta gugur dalam peristiwa tersebut.
“Berbulan bulan bahkan ada yang lebih dari bulan para tapol meringkuk dalam dinginya jeruji besi penjara, seribu perlakuan keji dan intimidasi yang kami alami selama kami menjalani proses hukum hingga di pengadilan dan berakhir di penjara, kami bisa memaafkan dari tragedi kelam tersebut tapi untuk merupakan tentu tidak,” ujarnya.
H.Kurniawan apa yang dilakukannya bersama para eks tapol kala itu merupakan resiko perjuangan. ”Kita ditangkap bukan karena melakukan aksi kerusuhan, tapi kala itu karena kami terlalu berani menuntut transparansi dari penyelenggara pemilu, tapi yang kami dapatkan saat itu bukan jawaban tapi tindakan tegas dari pihak oknum keamanan, kami sengaja dibenturkan dengan institusi yang seharusnya melindungi mengayomi bahkan melayani kami justru menghantam kami menembaki kami bahkan melibas kami hingga kami dijebloskan kedalam penjara,” bebernya.
“Kejadian berdarah itu sudah berlalu hampir 6 tahun yang lalu, paradoksnya boro-boro kami mendapat rangkulan dari junjungan ataupun tokoh yang selama ini kami bela kami hormati dan kami banggakan, sayangnya hingga saat ini para tapol yang sudah berdarah darah berjuang mengorbankan keringat air mata bahkan darah masih berada diluar pagar yang tidak pernah bisa bertemu dengan Bapak Prabowo Subianto meskipun itu cuma untuk bertegur sapa, kami para tapol tidak berharap untuk jadi seorang menteri karena kami tau diri dan sadar diri dan kami tidak mungkin minta di luar batas kemampuan kami, yang kami inginkan adalah pengakuan dan salam hangat dari seorang bapak kepada anak-anaknya yang tetap setia kepadanya meskipun harus di penjara,” bebernya.
Sekedar informasi, dalam aksi kerusuhan 21-22 Mei 2019 enam orang dinyatakan tewas dan 200 orang luka-luka akibat protes dan kerusuhan tersebut hingga pukul 09:00 tanggal 22 Mei.
Seorang pria tertembak di dada dan dibawa ke rumah sakit, namun meninggal di sana. Sebuah rumah sakit yang menerima pengunjuk rasa yang terluka mencatat bahwa "lebih dari satu" dari 17 pasiennya mengalami luka tembak, dan satu diantaranya memerlukan pembedahan.
Pada tanggal 23 Mei, ada delapan orang yang tewas dalam protes tersebut. Selain itu, lebih dari 600 orang dilaporkan terluka dalam berbagai tingkat. media asing ABC Australia menjuluki peristiwa tersebut sebagai "kekerasan politik terburuk di Indonesia dalam dua dekade".(fie)