Telusur.co.id - Oleh: KH Lutfi Hakiem, Imam Besar Forum Betawi Rempug
Ditemani lirik lagunya Mashabi, di awal tahun 1445 H, di sela-sela persiapan memperingati Milad ke-22 Forum Betawi Rempug (FBR), memperhatikan Jakarta sebagai wilayah Indonesia memang memiliki kisahnya tersendiri: ruang-ruang kosong yang kini tergantikan oleh gedung menjulang, jalan setapak tanah merah tergantikan aspal dan beton nan pekat, belum lagi pergeseran nilai dan tradisi yang sangat fundamental bagi keberlangsungan kearifan Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta.
Bersandar pada nilai, menjaga tradisi bukan saja untuk membentengi, melainkan harus dimaksimalkan agar dapat menjawab perubahan Jakarta yang terus berkembang. Masyarakat Betawi kini dituntut untuk mampu mentransformasi dirinya, mengubah paradigma berpikir, berperilaku secara individu, keorganisasian, serta politiknya. Kalau tidak, saya khawatir masyarakat Betawi sama halnya dengan pohon eceng gondok: ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berdahan.
Menjaga Tradisi
Menjaga tradisi sebagai tagline puncak Miladnya ke-22 FBR. Sangat strategisnya tradisi sebagai nilai kebetawian, mengutip Yasraf A. Piliang, bahwa nilai tradisi akan produktif jika masyarakat Betawi memiliki creative of cultural atau kreativitas budaya.
Sebenarnya dengan kemampuan masyarakat Betawi menjaga tradisi, upaya pemajuan tradisi akan berlangsung tanpa disertai kekerasan dan tanpa menciptakan rasa takut di tengah masyarakat Jakarta. Terjaganya tradisi budaya Betawi akan melengkapi setiap proses perubahan dan pembangunan yang sedang berlangsung.
Kreativitas budaya secara konstruktif bukan sebaliknya yang menjadi pilihan. Kreativitas konstruktif bertujuan agar masyarakat Betawi sadar tradisi budaya dalam membangun yang belum ada sebelumnya, memecahkan masalah, menemukan hal-hal baru yang dapat memberikan kenyamanan, keindahan, keteraturan, dan banyak hal lain yang bersifat positif.
Di era peradaban ilmu pengetahun dan tekhnologi, menjaga tradisi yang akan kita bangun, meski memiliki tujuan menciptakan hal yang baru, tapi bukan dalam bentuk destruktif atau bersifat negatif seperti penghancuran, menciptakan konflik, kekacauan bahkan permusuhan.
Kerempugan menjaga tradisi memerlukan inovasi budaya, itulah kreativitas konstruktif kultural dalam menghadapi ragam perubahan Jakarta yang akan kita bangun. Inovasi budaya yang brilian ketika budaya menjadi konsumsi publik yang membentuk ruang baru secara bersama, menciptakan nilai, bentuk yang dapat dinikmati masyarakat dan mereka yang memiliki kepentingan.
Kontruksivisme budaya kerempugan memerlukan bangunan yang kuat antara relasi masyarakat Betawi dengan negara sebagai kebutuhan mendasar. Sejarah memang menjadi pelajaran, tetapi tidak boleh menolak perubahan. Selama ini masyarakat betawi hanya sebatas subordinat pemerintahan yang fungsinya dapat diperankan ketika pemerintah membutuhkan. Di lain pihak, masyarakat Betawi tidak dapat mempengaruhi kebijakan, bahkan masuk dalam pembahasan kebijakan pun tak memungkinkan.
Bertemanlah dengan sistem, beradaptasilah pada sistem, godalah kalau memungkinkan rayulah, dan agar dapat masuk ke dalam sistem. Acapkali, Betawi mengeluhkan posisinya sendiri baik secara ekonomi, politik maupun budaya, tapi apa yang dikeluhkan ya sebatas penyesalan tanpa adanya upaya untuk keluar dari kondisi meskipun negara telah memberikan ruang secara konstitusi.
Menjawab Perubahan
Organisasi kebetawian maupun ketokohan individu Betawi, mengutip Prof. Yasmin, haruslah melakukan rekonstruksi sosial sebagai bentuk penguatan sistem kebetawian dalam wadah keadatan dan penempatan para tokoh Betawi yang dalam perkembangannya menyebar pada ragam profesi seiring dengan perkembangan zaman.
Rekonstruksi sosial untuk menjawab perubahan dan ketahan tradisi Betawi yang dikembangkan haruslah berlangsung dua arah: melalui penguatan kelembagaan dan penguatan kelembagaan dengan pelibatan individu atas dasar ragam kekayaan tokoh Betawi.
Dalam konteks inilah kerempugan dibangun berdasar pada dialogisme heteronomis, sebuah prinsip dialog dengan menghargai heterogentitas dan pluralitas keahlian (profesi) individu Betawi. Dialog yang salah akan sulit bagi Betawi menjawab perubahan: mengulangi kesilapan serupa, pengkerdilan diri, serta menutup ruang keterlibatan Betawi selama perubahan dan pembangunan berlangsung.
Tradisi Betawi sebenarnya mampu menghasilkan sintesis kebudayaan dengan kekayaan tradisi yang dimiliki. Peluang yang terbuka oleh demokratisasi harus dimanfaatkan dengan mengembangkan berbagai kemungkinan baru. Semua itu bergantung pada bangunan dialog rekonstruksi sosial yang diinginkan kaum Betawi.
Terakhir saya kembali menegaskan, ada relasi penting yang selama ini diabaikan dan terabaikan oleh masyarakat Betawi untuk membangun otonomi dalam pengembangan tradisi Betawi. Otonomi yang diberikan secara prinsip memberikan hak pada entitas Betawi sebagai suku untuk mengatur organsasi keadatan.
Untuk menjawab perubahan itulah kerempugan budaya dibangun pada orientasi internal mencakup penguatan hak dan otoritas pengurusan diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain dan orientasi eksternal, yaitu penguatan tradisi membangun dialog dengan pihak lain dalam membangun pengaturan bersama terhadap berbagai kepentingan Jakarta.