telusur.co.id - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan akan menindaklanjuti aspirasi pelaku usaha pengolahan kelapa terkait kelangkaan bahan baku yang semakin mengkhawatirkan. Hal ini disampaikan Menperin usai menerima audiensi Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, belum lama ini.
Dalam pertemuan tersebut, HIPKI menyuarakan keprihatinan terhadap kelangkaan bahan baku kelapa yang mengancam kelangsungan industri pengolahan kelapa nasional. Menperin mengakui bahwa permasalahan ini bisa berdampak besar, tidak hanya pada industri, tetapi juga pada kesejahteraan petani kelapa.
“Kita harus menjaga agar petani tidak beralih ke komoditas lain karena itu akan memperparah kelangkaan bahan baku dan mengganggu keberlanjutan usaha kelapa nasional,” ujar Agus.
Agus menyoroti bahwa meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa terbesar dunia, belum ada kebijakan tata niaga bahan baku kelapa yang dapat melindungi industri dalam negeri. Sementara negara-negara produsen lainnya seperti Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka sudah lebih dulu memberlakukan larangan ekspor atau pungutan ekspor demi menjaga nilai tambah dalam negeri.
“Kita justru belum memiliki kebijakan pembatasan ekspor kelapa bulat, padahal ini sangat diperlukan untuk melindungi industri hilir dan tenaga kerja yang bergantung padanya,” katanya.
Ia menambahkan, sejak program hilirisasi kelapa diluncurkan, Indonesia berhasil menarik investasi dari berbagai negara seperti Malaysia, Tiongkok, Thailand, dan Sri Lanka. Namun kini, banyak perusahaan asing yang telah berinvestasi justru kesulitan beroperasi akibat terbatasnya pasokan kelapa dalam negeri.
Masalah lainnya, lanjut Agus, terletak pada ketimpangan kebijakan fiskal. "Industri dalam negeri dikenakan PPh Pasal 22 saat membeli kelapa dari petani, sedangkan eksportir kelapa bulat tidak dikenakan pungutan apa pun. Ini menciptakan ketidakadilan yang merugikan industri nasional," tegasnya.
Kebutuhan kelapa untuk konsumsi domestik, terutama rumah tangga dan industri kecil-menengah (IKM), mencapai sekitar 2 miliar butir per tahun. Namun tingginya ekspor kelapa bulat menyebabkan kelangkaan di pasar lokal, memicu lonjakan harga, dan membebani masyarakat.
Lebih jauh, Menperin mengingatkan bahwa ekspor kelapa bulat berisiko menurunkan daya saing produk hilir Indonesia seperti minyak kelapa, nata de coco, arang aktif, dan briket. Negara kompetitor justru mengolah bahan baku dari Indonesia menjadi produk bernilai tambah tinggi dan mengisi pasar global yang sebelumnya dikuasai Indonesia.
"Pada 2024, nilai ekspor produk kelapa Indonesia mencapai USD 2 miliar, dan 85 persen di antaranya adalah produk olahan. Jika kelangkaan bahan baku terus berlanjut, kita bisa kehilangan pasar, devisa, dan mengancam 21 ribu pekerja di industri ini," tutur Agus.
Kementerian Perindustrian saat ini tengah memperkuat koordinasi dengan pelaku usaha dan asosiasi kelapa untuk merumuskan kebijakan pasokan bahan baku yang adil dan berkelanjutan, dengan tetap memprioritaskan kesejahteraan petani sebagai mitra strategis industri.