telusur.co.id - Di tengah kelaparan yang meluas di Jalur Gaza, tempat-tempat yang seharusnya menjadi harapan terakhir warga sipil kini berubah menjadi medan pembantaian. Sedikitnya 600 warga Palestina tewas sejak akhir Mei saat mencoba mendapatkan bantuan makanan di lokasi distribusi yang disebut-sebut didukung oleh Israel dan Amerika Serikat, memicu kemarahan internasional dan tuduhan kejahatan perang.
Menurut laporan Associated Press, pasukan Israel, yang beroperasi bersama kontraktor keamanan swasta yang didanai AS, dilaporkan telah menembaki kerumunan orang yang kelaparan di pusat bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga yang dipromosikan secara besar-besaran oleh Tel Aviv dan Washington.
"Pusat bantuan itu bukan lagi tempat harapan, tapi jebakan maut," ujar Islam Alzanin, seorang ibu Palestina yang kehilangan putranya saat mencoba membawa pulang makanan. “Alih-alih membawa sekarung tepung, dia pulang dalam peti mati.”
Laporan saksi mata dan penyintas menyebutkan bahwa warga sipil yang mendekat ke pusat distribusi GHF sering kali disambut dengan tembakan peluru tajam dan granat kejut, bahkan oleh personel keamanan berstatus tentara bayaran asing.
Meskipun GHF membantah segala keterlibatan dalam kekerasan ini, bukti-bukti lapangan—termasuk video, kesaksian warga, dan laporan medis terus memperkuat tuduhan bahwa bantuan telah dimanipulasi menjadi alat represi dan pembantaian massal.
"Kami tidak punya pilihan. Kami kelaparan. Mereka memaksa kami memilih antara mati karena lapar atau mati karena peluru," kata seorang penyintas di Rafah.
Kecaman Dunia Meningkat
Josep Borrell, mantan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, secara terbuka mengecam pembunuhan lebih dari 550 warga Palestina dalam waktu sebulan di sekitar titik distribusi bantuan, dan menyalahkan langsung keterlibatan tentara bayaran AS yang ditempatkan di lokasi.
“Ini bukan sekadar kegagalan logistik atau salah tembak. Ini adalah bentuk baru dari perang terhadap kemanusiaan,” ujar Borrell dalam pernyataannya.
Situasi di Gaza kini semakin kritis. Bantuan dari GHF dinilai tidak mencukupi secara nutrisi, terbatas jumlahnya, dan berisiko tinggi untuk diakses. Banyak keluarga menyebut paket bantuan hanya bertahan 2–3 hari dan tidak dapat dimasak karena krisis air bersih dan gas.
Anak-anak menunjukkan gejala kekurangan gizi, trauma berat, dan kelelahan ekstrem. Sementara itu, militer Israel terus melakukan serangan udara ke wilayah pengungsian.
Pada Jumat dini hari, 15 orang tewas dalam serangan udara yang menghantam tenda-tenda pengungsi di al-Mawasi, dekat Khan Younis. Tiga lainnya ditembak mati saat berusaha mengambil bantuan di Koridor Netzarim.
Para aktivis dan pengamat hak asasi manusia menyatakan bahwa Israel dan pendukungnya secara sistematis menggunakan bantuan sebagai alat pendisiplinan dan penghinaan, mempermalukan warga Palestina dengan membuat mereka memilih antara kelaparan atau kematian.
“Bantuan seharusnya menyelamatkan nyawa, bukan merenggutnya,” kata seorang relawan dari organisasi HAM lokal.[]
Sumber: TNA