Telusur.co.id - Oleh : Jacob Ereste
Ramalan tentang kebangkitan kesadaran spiritual pada siklus pergantian tujuh abad ke empat sekarang ini (abad ke-21) diyakini oleh banyak orang akan dimulai dari dunia bagian Timur, dimana dahulu pernah berjayanya suku bangsa Nusantara yang kemudian membentuk negara bangsa yang kemudian sepakat bersatu disebut bangsa Indonesia.
Karena itu dalam berbagai telaah, suku bangsa Indonesia tidak bisa diinguk sejak hasrat bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa dan bertanah air Indonesia (1928 atau sejak saat kemerdekaan diproklamirkan, tahun 1945) tapi jauh sebelum itu telah mengukir kejayaan semasa kerajaan Sumedang Larang, Sriwijaya, Samudera Pasai, kemudian Majapahit, dan Mataram.
John Naisbit dan Patricia Aburdenen telah menulis Megatrends 2000 pada tahun 1990 yang cukup mengisyaratkan tanda-tanda akan adanya kebangkitan spiritual dalam milenium ketiga sekarang ini.
Menurut Jhon Naisbit, pada tahun 2000 telah menjadi simbolis bagi manusia ada kecenderungan bagi manusia tak akan meninggalkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, melalui agama, manusia akan kembali menegaskan aspek spiritual sebagai upaya pencaharian jati diri agar dapat lebih memiliki keseimbangan guna kesempurnaan dari kualitas hidup yang lebih baik dan dapat lebih bahagia secara lahir dan batin.
Kecuali itu, Alvin Toffler juga telah meneropong masa depan umat manusia di bumi. Namun jauh sebelum ilmuan Barat itu berkicau, bangsa Nusantara (Jawa) sudah memiliki Ronggo Warsito, Suryo Mentaram, dan Prabu Joyo Boyo, sekitar pada abad ke-12 seperti yang tercatat dalam "Serat Jaya Baya" dan "Kitab Musasar", meski dalam bahasa simbolik, yang tak telak seperti paparan kaum akademisi yang kering aroma dan nuansa sastranya.
Ramalan Jaya Baya tentang zaman Kaliyuga, kerusakan seperti yang terjadi di Indonesia hari ini, justru boleh saja ditafsirkan seperti siklus sejarah yang kembali berulang, sehingga keyakinan akan memasuki zaman Tretayuga atau pun zaman Kalakreta segera dijelang.
Agaknya, canang dari Indonesia yang terus ditabuh untuk memasuki tahun emas Indonesia 2045, tampaknya beranjak dari ramalan yang dianggap sering klenik, sehingga zaman keemasan Indonesia tidak sepenuhnya diyakini oleh banyak orang, sebab rincian tahapan capaian yang dilakukan tidak cukup meyakinkan dan tidak pula rasional.
Sehingga beban sejarah keyakinan menjadi tambahan dari kegamangan spiritual untuk ikut menanggung beban kebodohan yang dianggap sebagai bentuk eskapisme dari realitas yang diklaim tidak mampu dijamah.
Konsep gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, kerta raharja, sungguh dapat diraih dan dinikmati oleh segenap warga bangsa Indonesia, jika saja tata kelola negara dan pemerintah becus dilaksanakan. Karena tata kelola negara Indonesia salah kaprah seperti yang terjadi sekarang.
Toh, cukup banyak pendapat yang percaya, bila hasil bumi dan sumber alam bangsa Indonesia dapat dikelola dengan baik dan benar, maka setiap warga bangsa Indonesia tanpa bekerja pun bisa mendapatkan pembagian secara cuma-cuma, tidak kurang dari Rp 20 juta setiap bulan.
Jadi, konsep Ratu Adil itu bukan omong kosong. Karena Ratu Adil itu dapat dipahami dalam konteks seperti rincian untuk menikmati hasil bumi dan sumber daya alam negeri kita yang berlimpah ruah.
Tentu saja bilangan nyata seperti itu, diperlukan pengelola negara dan pemerintahan yang bersih, beretika serta mempunyai moral yang terjaga kemuliaannya. Tidak kemaruk, tidak tamak dan tidak rakus. Termasuk tamak pada kekuasaan yang ingin selalu memaksa dan dipaksakan seperti yang makin fulgar terjadi sekarang ini.
Begitulah, rasionalitasnya pemahaman terhadap akan tampilnya "Satrio Piningit", karena desakan kondisi dan situasi yang makin meruncing, menegang, lantaran aturan yang tidak karu-karuan oleh ulah rezim yang abai pada etika, moral dan akhlak mulia manusia yang sepatutnya bisa tetap dijaga.
Setidaknya, begitulah relevansi dari rumusan konsep kepemimpinan yang tertulis sejak berabad-abad silam itu; Satria Kinunjara Murwa, Kuncara, Satria Mukti Wibawa kesandung kesampar, Satria Jinumput Sumela Atur, Satria Lelana Tapa Ngrame, Satria Piningit Hamong Tuwuh, Satria Boyong Pambukaning Gapura, dan Satria Punandita Sinisihan Wahyu.
Rincian konsep kepemimpinan ala Jawa ini terkesan sudah terabaikan, menurut banyak orang, lantaran orang Jawa sendiri meski cukup dominan, eksistensinya di negeri ini sudah kehilangan ruh ke-Jawa-annya yang adiluhung.
Begitulah bukti dari telaah spiritual Prabu Jaya Baya yang telah menguak tanda-tanda zaman, jauh sebelum John Naisbit dan Alvin Toffler berkicau beberapa tahun lalu. Dan ramalan Prabu Jaya Baya ini pun terkesan kalah populer, karena suku bangsa Nusantara Indonesia lebih mengagumi, dan selalu merasa takjub dan merasa lebih hormat kepada bangsa asing.
Inilah sebabnya, gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual terus merangsek, hingga kelak akan menjadi mercusuar penerang jagat yang bangkit dan muncul dari Timur.
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.