telusur.co.id - Koordinator dan ahli waris dari H Abdul Halim bin H Ali, Makawi bin H Abdul Halim, mengirimkan surat kepada pimpinan Komisi III DPR terkait masalah kepemilikan tanah yang kini diduga dikuasai PT Summarecon.
Makawi meminta dijadwal ulang Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR sekaligus dikonfrontir dengan para pihak yang terkait perkara ini.
"Saya ucapkan terima kasih kepada Komisi III DPR yang telah mengundang saya RDPU terkait dugaan penyerobotan tanah milik ahli waris H Abdul Halim bin H Ali, namun kami minta dijadwal ulang dengan menghadirkan para pihak yang terkait perkara ini," kata Makawi kepada wartawan, Kamis (27/6/24).
Makawi berharap, sekitar bulan Juli ini, pihaknya dan PT Summarecon beserta pihak terkait, bisa dipertemukan di Komisi III DPR.
Semenatara itu, kuasa hukum Makawi, C Suhadi, mengapresiasi atas respons DPR terhadap dugaan penyerobotan tanah milik kliennya itu. Menurutnya, sudah semestinya wakil rakyat memperhatikan nasib rakyat.
"Kami senang dengan perhatian besar dari DPR, khususnya Komisi III. Semoga secepatnya dapat terealisasi RDPU kami beserta PT SM beserta para pihak terkait," harapnya.
Laporan yang disampaikan Makawi ke DPR ialah mengenai adanya dugaan kesalahan pihak lawan dalam kontra memori PK. Di mana, lawan bukan menanggapi memori yang ia ajukan, tertanggal 8 Mei 2023, tapi menanggapi PK orang lain No. 430 K/Pdt/2017 tertanggal 21 juni 2017, yang tidak ada kaitannya dalam memori.
Jadi, menurut Suhadi kontra memori PK tersebut tidak nyambung, dan fatal secara hukum. Selain itu, ia menilai, ada kejanggalan lain dimana pembelian obyek perkara kepada orang tua Makawi dilakukan pada 1981. Padahal, H Abdul Halim (orang tua Makawi) meninggal pada 1978.
"Jadi lucu, orang sudah meninggal dijadikan pihak jual beli. Masa transaksi pembelian obyek perkara dilakukan dengan orang yang sudah meninggal dunia, dimana rumusnya," papar Suhadi.
Tak hanya itu, lanjutnya, AJB dengan Pihak yang sudah meninggal dunia telah dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat atas nama PT.
"Dan anehnya terhadap fakta-fakta yang terang berderang Majelis PK tidak mempertimbangkannya, malah ngelantur tanpa arah. Jadi melihat keadaan Mahkamah Agung tidak bisa diharapkan menjadi benteng pencari keadilan. Karena dengan alat bukti yang terang benderang saja Majelis Hakim mengabaikannya dan mencari cari alasan untuk menolak PK nomor 28 PK/Pdt/2024," tukasnya.[Fhr]