Telusur.co.id -Ditulis oleh Sekar Andiningtyas Putri, Mahasiswi Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal 2024.
Penghindaran pajak telah menjadi perdebatan hangat dalam dunia keuangan global. Praktik ini, meski tidak selalu ilegal, memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi kewajiban pajak. Dalam skala besar, perusahaan multinasional menggunakan strategi yang kompleks untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Namun, bagaimana sebenarnya penghindaran pajak ini dilakukan? Dan apa yang dilakukan pemerintah untuk menangkalnya?
Apa Itu Penghindaran Pajak?
Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah upaya legal untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar dengan memanfaatkan celah dalam peraturan pajak. Berbeda dengan penggelapan pajak (tax evasion) yang bersifat ilegal, penghindaran pajak tetap berada dalam kerangka hukum, meskipun sering kali dianggap melanggar semangat keadilan perpajakan.
Di Indonesia, penghindaran pajak diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pasal ini memberikan otoritas kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan koreksi atas transaksi yang dilakukan wajib pajak jika ditemukan indikasi penghindaran pajak. Selain itu, Pasal 22A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) juga menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk menindak penghindaran pajak.
Strategi Penghindaran Pajak oleh Perusahaan Besar
Perusahaan besar sering menggunakan metode yang rumit dan sulit dilacak. Berikut adalah beberapa strategi umum yang mereka gunakan:
1. Transfer Pricing: Transfer pricing terjadi ketika perusahaan multinasional menetapkan harga yang terlalu rendah atau terlalu tinggi untuk transaksi antar cabang perusahaan di negara yang berbeda. Misalnya, sebuah perusahaan di Indonesia dapat menjual barang ke cabang di negara dengan pajak rendah (tax haven) dengan harga yang jauh lebih murah untuk memindahkan keuntungannya ke negara tersebut. Di Indonesia, praktik transfer pricing diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016, yang mewajibkan perusahaan multinasional untuk membuat dokumentasi transfer pricing.
2. Thin Capitalization: Dalam strategi ini, perusahaan membebani dirinya sendiri dengan utang yang besar kepada afiliasinya di luar negeri. Bunga yang dibayarkan atas utang tersebut kemudian dijadikan pengurang pajak. Indonesia mengatur batasan terkait praktik ini melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015, yang menetapkan rasio utang terhadap ekuitas maksimal sebesar 4:1.
3. Penggunaan Tax Haven: Perusahaan sering kali mendirikan entitas di negara-negara dengan tarif pajak rendah atau nol, seperti Panama, Bermuda, atau Kepulauan Cayman. Dari sana, mereka mengalihkan laba melalui mekanisme yang sah di mata hukum tetapi tidak etis. Indonesia telah berupaya menangkal praktik ini dengan menerapkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan memperkuat kerjasama
internasional, terutama melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang diinisiasi oleh OECD.
4. Manipulasi Harga Saham atau Dividen: Beberapa perusahaan menggunakan manipulasi harga saham atau distribusi dividen untuk meminimalkan pajak. Mereka memanfaatkan celah dalam undang-undang pajak dividen, seperti mengatur pembayaran dividen ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Dampak Praktik Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak memberikan dampak negatif besar, baik bagi negara maupun masyarakat. Indonesia kehilangan potensi penerimaan negara yang signifikan akibat praktik ini. Menurut laporan Tax Justice Network, Indonesia kehilangan sekitar Rp68 triliun per tahun akibat praktik penghindaran pajak. Hal ini berdampak pada kurangnya dana untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Selain itu, penghindaran pajak menciptakan ketimpangan ekonomi. Perusahaan kecil dan menengah, yang tidak memiliki sumber daya untuk mengakses mekanisme penghindaran pajak, terpaksa membayar pajak penuh. Akibatnya, mereka menghadapi persaingan yang tidak adil dengan perusahaan besar.
Upaya Pemerintah dalam Menangkal Penghindaran Pajak
Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan berbagai langkah untuk menangkal penghindaran pajak, termasuk:
1. Automatic Exchange of Information (AEoI): Melalui AEoI, Indonesia dapat mengakses informasi keuangan wajib pajak yang berada di luar negeri. Ini membantu pemerintah melacak aliran dana yang mencurigakan.
2. Anti-Tax Avoidance Rule (ATAR): Dalam UU PPh, pemerintah mengadopsi ATAR untuk mencegah penyalahgunaan celah hukum oleh perusahaan multinasional. 3. Kerjasama Internasional: Bergabung dalam inisiatif BEPS OECD, Indonesia berupaya mengurangi praktik penghindaran pajak global. Hal ini termasuk memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Perjanjian Pajak Berganda untuk meningkatkan transparansi pajak.
4. Digitalisasi Pajak: Melalui program digitalisasi, pemerintah memperketat pengawasan transaksi perusahaan. Sistem seperti e-Faktur dan e-Billing memungkinkan DJP memantau aktivitas wajib pajak secara real-time.
Perlukah Reformasi Pajak?
Meski sudah banyak langkah diambil, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menangani penghindaran pajak. Reformasi pajak yang menyeluruh diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi sistem perpajakan. Penegakan hukum juga perlu diperkuat agar perusahaan tidak merasa bebas memanfaatkan celah hukum.
Selain itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pajak harus ditingkatkan. Perusahaan yang menghindari pajak sering kali tidak disorot secara kritis oleh konsumen, padahal dampaknya merugikan pembangunan negara.
Kesimpulan
Penghindaran pajak oleh perusahaan besar adalah isu kompleks yang membutuhkan perhatian serius. Meskipun perusahaan menggunakan strategi yang sah di mata hukum, dampaknya terhadap keadilan sosial dan keuangan negara sangat merugikan. Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk menangkal praktik ini, tetapi tantangan masih ada.