MITI Dukung Pemerintah Ajak Rusia dan China Kembangkan PLTN - Telusur

MITI Dukung Pemerintah Ajak Rusia dan China Kembangkan PLTN

Ilustrasi

telusur.co.id - Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Rohadi Awaluddin, menyambut baik rencana Pemerintah mengembangkan kerjasama pembangunan PLTN dengan Rusia dan China. 

Menurutnya, kerja sama dengan dua negara anggota BRICS ini akan memperbanyak pilihan dalam pembangunan PLTN di Indonesia.

"Semakin banyak opsi tentu semakin memudahkan dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan kebutuhan nasional saat ini. Rusia dan China memiliki pengalaman yang panjang terkait dengan PLTN, baik skala besar (sekitar 1 GW) maupun SMR (kurang dari 300 MW),” ujar Rohadi, Selasa (24/6/2025). 

Rohadi menilai, Rusia dan China merupakan negara yang berpengalaman dalam mengelola PLTN dengan berbagai teknologi.

Perjalanan Rusia dalam teknologi PLTN bermula pada masa Uni Soviet, ketika negara ini membangun PLTN pertama di dunia di Obninsk pada tahun 1954, dengan kapasitas 5 MW. Proyek ini menjadi tonggak sejarah penting yang menandai dimulainya era energi nuklir sipil secara global. 

“Pada era Perang Dingin, Uni Soviet terus mengembangkan berbagai jenis reaktor nuklir, baik untuk keperluan pembangkit listrik, " ucapnya.

Rohadi melanjutkan, dua jenis reaktor utama yang dikembangkan adalah RBMK dan VVER. Reaktor RBMK dikenal luas karena digunakan di PLTN Chernobyl. 

Pasca Chernobyl, Rusia melakukan reformasi besar-besaran dalam desain, pengawasan, dan pengoperasian reaktor. Fokus kemudian diarahkan pada pengembangan reaktor jenis VVER, sebuah jenis reaktor air bertekanan (PWR) yang menjadi tulang punggung industri PLTN Rusia hingga saat ini. Dimana, VVER-1200 merupakan PLTN generasi III+, yang memiliki fitur keselamatan pasif, efisiensi tinggi, dan umur operasi hingga 60 tahun. 

Reaktor ini telah diekspor dan dibangun di berbagai negara seperti India, Turki, Mesir dan Bangladesh. Rusia juga telah berhasil mengembangkan PLTN tipe SMR (small modular reactor) yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari reactor di dalam kapal selam. 

"Oleh sebab itu RITM-200 memiliki 2 varian, yaitu marine base (RITM-200M) dan land base (RITM-200N). PLTN ini memiliki kapasitas 55 MWe, dirancang untuk beroperasi selama 6–7 tahun tanpa pengisian ulang bahan bakar,” terang ilmuwan nuklir BRIN ini.

Sementara China, sambung Rohadi, telah berhasil menjadikan dirinya sebagai negara produsen PLTN modern, baik skala besar maupun Small Modular Reactor (SMR). Pengembangan teknologi PLTN di China secara intensif dilakukan sejak stahun 1990-an untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. 

Aawalnya, China mengadopsi PLTN dari luar negeri dan selanjutnya mengembangkan PLTN secara mandiri. Dari pengembangan ini berhasil melahirkan PLTN HPR1000 (Hualong One), yang kini menjadi simbol kebangkitan PLTN China. 

Hualong One adalah PLTN generasi III+ dengan sistem keselamatan pasif yang mampu bersaing dengan reaktor mutakhir lain dari negara-negara produsen PLTN. 

"Keberhasilan pengoperasian Hualong One di Pakistan menunjukkan kemampuan China dalam mengekspor teknologi PLTN dan bersaing di pasar global. China juga sangat aktif dalam pengembangan teknologi SMR (Small Modular Reactor). Reaktor ACP100 (Linglong One) adalah hasil dari pengembangan ini. ACP100 menghasilkan Listrik 125 MWe, dikembangkan dan dibangun oleh CNNC,” terang Rohadi.

Rohadi menilai, Rosatom dan CNNC merupakan ujung tombak industri nuklir termasuk PLTN di Rusia dan China. Oleh sebab itu, jika kerjama dengan Rusia maka hampir pasti akan kerja sama dengan Rosatom. Dan jika kerja sama dengan China maka hampir pasti dengan CNNC. 

CNNC merupakan Perusahaan nuklir dengan cakupan usaha yang sangat luas dan memilik sekitar 180 ribu karyawan. Sedangkan Rosatom adalah Perusahaan yang bergerak di berbagai bidang nuklir seperti CNNC dengan jumlah karyawan lebih dari 300 ribu orang.[Nug] 

 

 


Tinggalkan Komentar