Moral Hazard Kebijakan Kredit Usaha Rakyat - Telusur

Moral Hazard Kebijakan Kredit Usaha Rakyat


Direproduksi dari BUKU "KOPERASI LAWAN TANDING KAPITALISME", Karya: Suroto

 

SEJAK 2007, pemerintah meluncurkan kebijakan kredit program yang dinamakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tujuan diluncurkannya kredit tersebut adalah untuk meningkatkan akses kredit masyarakat kecil, terutama yang tidak bankable alias tidak memiliki jaminan aset yang mencukupi untuk pinjaman.

Kebijakan KUR di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerapkan sistem subsidi Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Artinya, pemerintah hanya memberikan persentase tertentu dalam bentuk penjaminan kepada bank penyalur jika terjadi kemacetan pinjaman atau non-performance loan (NPL) nasabah KUR. Persentase kredit macet yang disubsidi dari total penyaluran KUR sebesar 3,25 persen.

Kebijakan KUR selama tujuh tahun (2007-2014) hanya terealisasi sebesar 178 triliun rupiah. Sementara pada 7 tahun Era Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2022, angkanya sebesar 1.330 trilyun atau naik 754 persen. Angka yang cukup fantastis baik dari jumlah maupun peningkatanya.

Sementara itu, kebijakan KUR pada era pemerintahan Joko Widodo mengalami perombakan. Sejak 2015 hingga kini, bank penyalur tak hanya mendapatkan subsidi IJP, namun juga subsidi bunga yang besarannya terus berubah. Pemerintahan Jokowi menjadikan KUR sebagai salah satu program unggulan. 

Pada awal pemerintahan Jokowi (tahun 2015), subsidi KUR hanya 3 persen untuk realisasi penyaluran kredit sebesar Rp 22,75 triliun. Pada 2023, besaran subsidi dinaikkan menjadi 13 persen dengan target kuota penyaluran KUR sebesar 460 triliun (Kemenko Perekonomian, 2022).

Artinya, pemerintah mensubsidi bank penyalur sebesar 59,8 triliun rupiah untuk tahun anggaran 2023. Jika ditambah subsidi IJP dengan asumsi angka NPL dari KUR tahun 2022 sebesar 1,1 persen, subsidi IJP yang dianggarkan untuk tahun 2023 sebesar 5,06 triliun rupiah. Dengan kata lain, total anggaran subsidi yang akan diterima oleh bank penyalur sebesar Rp 64,86 triliun.

Pemerintah juga menetapkan batas penyaluran bunga kredit pada 2023 sebesar 3 persen. Artinya, bank masih akan menerima selisih dari bunga subsidi sebesar 10 persen. Jika ditambah dengan biaya modal (cost of fund) kurang lebih 3 persen, bank penyalur masih untung sebesar 7 persen. Jadi, bank penyalur KUR akan menerima keuntungan bersih dari negara sebesar Rp 32,2 triliun!

Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah bank penyalur KUR terbesar. Jika dalam tiga tahun terakhir rata-rata sebesar 68 persen, BRI sendiri pada 2023 diperkirakan akan menikmati keuntungan bersih dari subsidi negara untuk program KUR sebesar Rp 21,77 triliun.

Padahal, BRI adalah perusahaan publik dengan saham di pasar modal sudah dimiliki asing di atas 70 persen. Bank-bank lain penyalur KUR, seperti Bank Mandiri, BNI, BSI, Sinar Mas, dan sebagainya, sebagian saham mereka juga sudah jatuh ke tangan asing.

Di tengah narasi dan glorifikasi terhadap keberhasilan program KUR yang selalu diekspos pemerintah untuk membantu rakyat kecil, dilihat dari skema kebijakan yang diterapkan, sebenarnya justru lebih banyak menguntungkan bank sebagai “makelar” program. Besarnya subsidi bunga yang diterima bank, bahkan jika tidak ada peraturan tentang batas tingkat suku bunga pinjaman yang dsapat disalurkan, membuat mereka tetap untung jika menjualnya hingga nol persen pun. 

Alokasi fiskal yang besar dan bersumber dari pajak yang menguntungkan pihak bank komersial yang sudah go public dan sebagian sahamnya dikuasai asing adalah bentuk perampasan uang negara secara terang-terangan dan tak bermoral. Bank BUMN semestinya memberikan keuntungan kepada negara dan masyarakat. 

Dilihat dari kebijakan plafon pinjaman hingga mencapai 500 juta rupiah juga menyalahi misi awal yang menargetkan kelompok penerima KUR adalah rakyat kecil dan usaha mikro yang tidak bankable. Dibsini, plafon kredit sebesar 500 juta justru ditujukan untuk kelompok yang masuk dalam kategori tidak layak menerima subsidi negara. Mereka seharusnya mengakses kredit komersial bank.

Program KUR telah berjalan selama dua pemerintahan. Namun, dari total rasio kredit perbankan tahun 2021, misalnya, kelompok usaha mikro yang berjumlah 64 juta atau 99,6 persen dari total pengusaha Indonesia hanya mendapat realisasi kredit sebesar 3 persen (Bank Indonesia, 2021).

Pemerintah bersama Bank Indonesia agaknya tidak terlalu serius menargetkan kebijakan alokasi kredit perbankan untuk usaha mikro. Usaha mikro tetap terperosok dalam kubang derita sebagai korban tengkulak dan rentenir yang mengenakan suku bunga sebesar 20-30 persen per bulan. 

Bunuh Lembaga Keuangan

Kebijakan KUR dengan skema berpihak dan memberi keuntungan kepada bank akhirnya membawa dampak buruk terhadap keberadaan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Secara tidak langsung, kebijakan itu membuat lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Credit Union, BMT, dan lain lain, melemah. Subsidi bunga untuk bank penyalur KUR yang sangat besar juga memengaruhi penguasaan struktur pasar sektor keuangan yang subordinatif terhadap bank. 

Sebagaimana diketahui, arsitektur kelembagaan keuangan beberapa negara maju seperti Kanada, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Jepang, dan lain-lain, tidak menganut sistem monokultur perbankan komersial. Mereka terus-menerus menghidupi kelembagaan keuangan alternatif, seperti koperasi/credit union dan model lembaga micro finance lainnya. Mereka sangat menyadari bahwa ketahanan sistem layanan keuangan bagi masyarakat justru ditentukan oleh banyaknya varian layanan dari lembaga-lembaga keuangan.

Mereka tidak bergantung pada sistem keuangan monokultur seperti bank komersial. Ketika menghadapi krisis keuangan, mereka menjadi sangat hati-hati (over prudent) dalam menyalurkan kredit yang pada akhirnya banyak rakyat kecil khususnya yang tidak terlayani oleh sektor keuangan formal.

Saat krisis ekonomi tahun 2008, koperasi simpan pinjam (credit union) di Amerika Serikat, ternyata mampu menyelamatkan usaha kecil mereka dengan menciptakan double lending (ILO, 2018). Demikian pula Kanada. Walaupun sektor perbankan dan lembaga koperasi negara itu sudah sedemikian kuat, pemerintah tetap mencipta dan mendirikan lembaga-lembaga keuangan alternatif sebagai penyalur kredit dengan sistem pooling untuk mengisi kekosongan layanan bagi kelompok masyarakat yang tak tersentuh lembaga keuangan formal.

Dengan demikian, pelaksanan program dan kebijakan KUR saat ini mendapat pertanyaan besar. Siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran kebijakan itu? Apakah untuk keuntungan bankir atau untuk menolong rakyat kecil?*** 


Tinggalkan Komentar