telusur.co.id - Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, minta Pemerintah menimbang ulang rencana menghentikan impor dari Singapura. Karena, saat ini Indonesia merupakan negara net importer lantaran mengalami defisit neraca minyak dalam beberapa tahun.
“Sampai tahun 2050, kebutuhan semakin meningkat dan produksi semakin menurun, maka pasokan terbesar berasal dari impor” kata Fahmy, Selasa (27/5/2025).
Profesor Bidang Energi UGM ini khawatir Indonesia tidak mampu mencapai kedaulatan energi, karena secara ekonomis target produksi minyak mentah 1 juta barel per hari sangat sulit direalisasikan, mengingat cadangan minyak yang semakin menipis.
“Saya tidak yakin impor minyak kita bisa dialihkan sepenuhnya ke Amerika atau Timur Tengah, karena spesifikasinya belum tentu matching dan ongkos logistik menjadi lebih mahal. Biaya produksi minyak bisa lebih mahal karena dibutuhkan penyesuaian dengan spesifikasi yang dibutuhkan Indonesia,” ungkap Fahmi.
Fahmy menambahkan, dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan Indonesia masih bergantung pada impor BBM, terutama dari Singapura yang bukan produsen minyak mentah.
Hal ini tidak hanya menciptakan anomali harga dan defisit neraca perdagangan, tetapi juga menyoroti lemahnya kapasitas domestik dalam membangun kemandirian energi.
Berkaitan dengan kedaulatan energi, Fahmy mengungkapkan bahwa swasembada hanya bisa diwujudkan dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
“Cadangan minyak menipis, dan energi fosil ini tidak bisa diperbarui, maka pengembangan EBT merupakan suatu keniscayaan untuk mengatasi defisit energi” ujar Fahmy.
Ia mengutip pernyataan presiden yang menginginkan swasembada energi dicapai dengan memaksimalkan sumber daya dalam negeri, termasuk EBT yang memiliki potensi besar.
Pernyataan Fahmy didukung oleh Edy Hartulistiyoso, pakar energi terbarukan dari IPB University, yang juga hadir menjadi narasumber dalam forum yang sama diskusi yang digelar CSDS-MITI.
Edy menuturkan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar dari panas bumi, surya, hidro, angin, dan bioenergi. “Tidak banyak negara yang memiliki diversifikasi energi semacam ini, sayangnya belum kita manfaatkan” kata Edy.
Ia menekankan pentingnya pengembangan EBT untuk mewujudkan visi net zero emission pada tahun 2060.
Edy menyoroti ketahanan energi nasional dalam aspek keramahan lingkungan (acceptability) yang memiliki skor terendah dibanding aspek lainnya.
“6,26 itu skor yang rendah. Meski masih dalam kategori tahan, tapi sudah tipis menuju kategori kurang tahan” ujar Edy mengomentari skor aspek keramahan lingkungan.
Selain keramahan lingkungan, skor cukup rendah juga tercatat pada aspek ketersediaan energi (availability) yang memiliki nilai 6,33. Dua aspek ini membutuhkan perhatian ekstra untuk menjaga ketahanan energi.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional, Indonesia memiliki visi mewujudkan pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, pengembangan EBT harus menjadi prioritas diiringi dengan upaya konservasi energi. Pada tahun 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 358 juta ton CO2. EBT dan efisiensi energi memiliki kontribusi terbesar terhadap penurunan tersebut dengan porsi masing-masing sebesar 51 persen dan 37 persen.[Nug]