telusur.co.id - Penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Hal itu diungkapkan Pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi, menyikapi kemungkinan pemerintah mengeluarkan Perppu terkait UU KPK, di Jakarta, Jumat (27/9/19).
"Bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam ketatanegaraan kita, di mana satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit di-perppu-kan," kata Reza.
Hal itu disampaikannya usai diskusi bertema "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta.
Ia mengakui bahwa perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya bergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting sehingga perlu mengeluarkan perppu.
"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk tuturmemenuhi tuntutan publik," ujarnya.
Namun, kata dia, pemerintah bisa saja dinilai mencari aman demi menjaga citra politik, sebab sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.
"Pemerintah kan 'co-legislator' dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," ungkapnya.
Menurut dia, untuk membangun tradisi ketatanegaraan yang lebih mapan dan elegan, ada baiknya disahkan dulu sebagai UU, baru kemudian mempersilakan jika ada yang mau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Itu lebih elegan, dan menghindari potensi kewenangan berlebihan di tangan Presiden dalam membuat kebijakan setingkat UU. Bisa menjadi preseden yang berulang-ulang, sedikit-sedikit diintervensi, ditafsirkan keadaan darurat, kemudian di-perppu-kan," pungkasnya. [Fhr]