Oleh: Mohamad Roem
(Ceramah di Den Haag, 19 Juni 1982 seperti dimuat dalam Bunga Rampai dari Sejarah 4: hlm 87-95)

PROKLAMASI Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama adalah tindak pengumuman kemerdekaan, diambil dari Pendahuluan Undanf-Undang Dasar. Kalimat kedua memberitahukan tatacara dengan mana penyerahan wewenang-wewenang  harus terjadi, yaitu "dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jawa, Madura, serta Sumatera telah mengenal satu waktu tanpa kehadiran tentara Sekutu yang menang itu, yaitu memelihara keamanan dan ketenteraman  serta memelihara status quo. 
Tetapi, tentara Jepang tidak bersemangat lagi untuk memenuhi tanggung jawab itu. Mereka nanti akan di_internir_ sebelum kembali ke tanah air mereka. Mengenai ketenteraman dan keamanan, itu dapat dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri dan lebih baik. Ini adalah sesuatu yang telah dilakukan oleh orang Indonesia selama seluruh masa pendudukan.

Sebenarnya tidaklah banyak yang harus diambil alih dari jekuasaan-kekuasaan. Namun masih saja ada orang-orang Jepang yang keterlaluan giatnya dan juga bsgian-bagian tentara di mana telah dilakukan oleh orang-orang Indonesia pada akhir waktu diberikan oleh Presiden Sukarno dengan sebuah dekrit "Seluruh pegawai negeri Republikan mulai dari sekarang hanya harus mendengar petintah-perintah dari Presiden Republik Indonesia."

Melihat luasnya daerah Hindia Belanda dan hadirnya tentara Jepang dengan tugas memelihara status quo, dapatlah dikatakan bahwa perintah yang terkandung dalam kalimat kedua dari Proklamasi Kemerdekaan, yaitu "dengan cara saksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sungguh sudah terlaksana dengan wajar sekali.
 
Sudah sewajarnya semua itu berjalan bukan tanpa pertumpahan darah, untuk mana orang-orang Indonesia siaplah sudah untuk mengabdi kepada negerinya.

Saya mengenal pemuda-pemuda dari keluarga baik-baik yang telah menghabiskan nyawa mereka, antara lain dua putera dari MR Goni Djojohadikusumo, seorang putera dari Arsitek Abikusni Tjojroaujoso, dan seorang putera dari Haji Agus Salim.

Tetapi, Republik telah tidak mujur di Indonesia Timur. Di sana tidak terdapat vakuum kekuasaan, dan gerakan kemerdekaan di sana juga belum diorganisir sedemikian baik seperti di Jawa dan Sumatera. Pasukan Sekutu di sana telah tiba segera sesudah tentara Jepang menyerah kalah.

Persetujuan Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946 mengharapkan dalam Pasal, pengajuan Republik Indonesia kekuasaan defacto di Sumatera, Jawa, dan Madura. Dalam Pasal 2, pemerintah Belanda dan Indonesia sepakat untuk bekerja sama dalam pembentukan sebuah negara yang merdeka, berdaulat, atas dasar federal yang bernama Republik Indonesia Serikat yang akan terdiri dari Republik Indonesia, Borneo, dan Indonesia Timur, tanpa mengurangi hak sesuatu daerah untuk membentuk negara bagian tersendiri. Inilah yang dinamakan penentuan nasib sendiri dari daerah atau bagian. Itu terdapat dalam pemikiran Belanda. 
Dalam pemikiran Republik, itu tidaklah kejadian. Republik telah mengubah Pasal asli dengan sebuah anak kalimat kedua yang mengatakan:
"Daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan Sekutu atau Belanda, berangsur-angsur dan dengan bekerja sama dengan kedua pihak, dimasukkan ke dalam daerah Republik. Untuk itu segera diambil tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai penggabungan itu selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949"

Persetujuan Linggarjati menyebut tiga  Negara-negara Indonesia Serikat yang akan terdiri dari Republik Indonesia, kekuatan de facto di Sumatera.

Persetujuan Linggarjati telah menyebut tiga negara bagian. Tetapi ketika kedaulatan diserahksn, 27 Desember 1949, jumlah negara bagian, termasuk Republik Indonesia telah menjadi 16. Akankah terjadi lebih banyak lagi andaikata pernyataan pembentukan negara bagian tidak dihentikan oleh Pernyataan, Roem-Rojen.
Memang sangatlah menarik menjadi kepala negara bagian lebih-lebih menjadi kepala negara dengan segala fasilitasnya. Ketika pernyataan van Roihen-Roem ditandatangani, dua calon negara bagian berada dalam daftar tunggu, yaitu Jambi, dan Tapanuli Selatan. Mereka telah ketinggalan bus.

Meskipun Schermahob dan Sutan Sjahrir, dua pembuat Perjanjian Linggarjati, orang- orang baik, tetapi lahirnya perjanjian Linggarjati tidak oleh seorang pun disambut dengan riang gembira. Keberatan-keberaran terhadap Perjanjian itu memang berbeda-beda.

Belanda telah mendekorasi perjanjian itu. Di Indonesia, Wakil Presiden Hatta sampai-sampai harus mengucapkan ancaman akan mengundurkan diri.

LAHIRNYA NEGARA FEDERAL

PADA 27 Desember 1949, lahirlah Negara Federal yang dinamakan Negara Indonesia Serikat. Resminya, itu disebut penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Negara Indonesia Serikat (NIS). Sekaligus itu adalah suatu pengakuan pula. Ketimbang tiga negara bagian yang semula disebut dalam persetujuan Linggarjati, NIS telah terjadi dari 16 negara bagian:
1. Republik Indonesia, satu ketika kebanggaan dari satu keseluruhan 70 juta rakyat, tetapi kini merosot menjadi negara bagian dengan penduduk yang sama dengan penduduk Kesultanan Yogyakarta.
2. Indonesia Timur dengan satu daerah yang penuh canda, terdiri dari puluhan pulau besar dan kecil. Indonesia Timur ini tetap utuh karena ia memperoleh perlindungan dari pemerintah Hindia Belanda.
3. Negara Dayak Besar
4. Negara Borneo Tenggara
5. Negara Borneo Timur
5. Negara Borneo Barat
6. Negara Banjar
7. Negara Bengkulu
8. Negara Bliton
9. Negara Madura
10. Negara Riau
12. Negara Suatera Selatan
13. Negara Pasundan
14. Negara Jawa Timur
15. Negara Jawa Tengah

DENGAN sendirinya telah timbul kegembiraan dalam kalbu 15 negara bagian pada hari penyerahan kedaulatan.
Hanya pada satu negara bagian saja yang terdapat kesedihan, yaitu dalam Negara Republik Indonesia.

Pada hari yang sama, waktu di Jakarta diadakan satu pertemuan khidmat karena kedaulatan telah diserahkan, di Yogyakarta juga diadakan pertemuan yang sangat khidmat. Seperti di Jakarta, di Yogya kedaulatan juga diserahkan, tetapi dalam pengertian yang lain. Mula-mula Mr. Assaat mengambil sumpah Presiden baru dari Negara Bagian Republik Indonesia.  Orang tidak dapat melepaskan pikiran pada Presiden Sukarno. Karena itu, Mr. Assaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Negara Bagian Republik Indonesia. Dan sebagai Pemangku Jabatan Presiden Negara Bagian RI pada Negara Indonesia Serikat yang diwakili oleh Presiden Sukarno yang ditunjuk sebagai Presiden Negara RIS.

Keesokan harinya, Presiden Sukarno meninggalkan Yogyakarta menuju ke kedudukannya yang baru di Jakarta. Dengan penuh kejayaan, Sukarno telah diterima oleh rakyat.

Pada 4 Januari 1950, Presiden baru dari Negara Bagian RI itu menunjuk tiga formatur untuk membentuk kabinet RI: Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan dr. A. Halim.
Pokok pertama  program kabinet RI ini ialah: "Melanjutkan perjuangan  untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai yang tersebut dalam Proklamasi 17 Agustus 1945".

Peralihan ke Negara Kesatuan

TINTA yang ditulis penyerahan kedaulatan, belum lagi kering, pada 4 Januari 1950, DPRD Malang (sebuah kabupaten di Negara Bagian Jawa Timur telah mengambil sebuah resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Negara RI di Yogyakarta.

Pada 30 Januari 1950, DPRD Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat mengajukan resolusi yang sama dengan resolusi DPRD Malang. Di samping resolusi-resolusi, di berbagai daerah muncul suara-suara untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia di Yogyakarta.

Sudah terang, itu semua menarik perhatian parlemen RIS, pemerintah pusat, dan daerah. Malah dalam demonstrasi massa di Negara Sumatera Timur telah memaksa polisi turun tangan untuk mencegah kerusuhan.

Parlemen RIS berpendapat, satu penyelesaian integral harus ditemukan untuk keluar dari jalan buntu aneka demonstrasi.

Mohammad Natsir, ketua fraksi partai Masyumi di Parlemen, mengambil inisiatif. Ia tahu, demonstrasi itu walaupun  tidak langsung direncanakan, dapat berakibat menggerogoti eksistensi negara baru RIS. Tanpa ragu, ia menemui semua pemimpin fraksi di parlemen RIS, mulai yang paling kanan (BFO, perwakilan negara-negara bagian) hingga yang paling kiri (PKI). Natsir menemui para pemimpin fraksi itu untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran mereka, dan apa solusinya?

Perdana Menteri Negara RIS, Mohammad Hatta menyatakan bahwa dia akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Maka dibentuklah sebuah komite persiapan yang terdiri dari wakil-wakil semua negara bagian. Komite ini membuat rancangan Undang-Undang Dasar Sementara yang berdasarkan pemerintahan parlementer. 

Masyumi yang diwakili oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan sebuah kabinet presidentiil dalam masa peralihan sampai adanya Undang-Undang Dasar yang definitif, tetapi dua partai lain, yakni PNU dan PSI lebih menyukai sistem parlementer. Maka Masyumi haruslah meletakkan dirinya pada kabinet parlementer.

Juga telah disetujui, Sukarno akan menjadi  Presiden dari Negara Kesatuan.

Jika Undang-Undang Dasar yang baru sudah disahkan oleh Parlemen dan Senat RIS, serta oleh Badan Pekerja KNIP, maka Presiden Sukarno akan mengumumkan secara resmi pembentukan Negara Kesatuan dalam Sidang bersama Parlemen dan Senat RIS. Sesudah itu pemerintah-pemerintah RIS dan RI pun dibubarkan. Kemudian Sukarno akan mengambil langkah untuk membentuk pemerintahan baru. Piagam pembentukan Negara Kesatuan akan ditandatangani oleh Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri RI, dr. A. Halim.

Pada 20 Juli 1950, kedua PM bertemu dan mencapai satu persetujuan terdiri dari lima pokok persoalan:
1. Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Wakil presiden Negara Kesatuan.
2. Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan pertama-tama harus diserahkan kepada parlemen dan Senat RIS untuk disahkan. 
3. Sesudah itu diserahkan kepada Badan Pekerja KNIP.
4. Pada 12 Agustus 1950, rancangan UUD disahkan oleh parlemen RI$.
5. Pada 15 Agustus 1950, Presiden Sukarno membacakan Piagam Pembentukan  Negara Kesatuan dalam Sidang Bersama Parlemen dan Senat RIS.

Pada 15 Agustus 1950, Presiden Sukarno tiba di Yogykarta untuk menyaksikan dan ambil bagian pada acara:
a. Pada pukul 12:00, Perdana Menteri Halim menyerahkan kembali msndatnta kepada Pemangku Jabatan Presiden RI, Mr. Assaat 
b. Pada pukul 13:00, Pejabat Presiden Assaat menyerahkan kembali mandatnta kepada Presiden Sukarno.

Keresahan Sesudah Lahirnya Negara Kesatuan

Masih ada keberatan-keberatan psikologis yang merintangi pekerjaan damai. Keberatan-keberatan itu terdapat di kalangan Republikan di Yogyakarta.

Seperti telah dikemukakan di atas, program kabinet Halim yang pertama ialah melanjutkan perjuangan untuk mencapai Republik Indonesia dalam bentuknya yang murni (mencapai kembali "Republik Indonesia Murni").

Kita memang sudah mencapai satu Negara Kesatuan. Akan tetapi prosedurnya lain dari yang dipikirkan. Negara-negara bagian itu bukan menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia, tetapi semua negara bagian masing-masing membubarkan diri dan bersama-sama membentuk Negara Kesatuan.

Natsir yang mengira sesudah bekerja keras selama lima bulan akan dapat beristirahat, ternyata harus terbang ke Yogyakarta untuk menemui tokoh-tokoh Republikan di sana. Sesudah berhasil meredakan kekecewaan masyarakat Yogya, Natsir masih belum boleh beristirahat. Presiden Sukarno menunjuk Natsir menjadi formatur Kabinet Negara Kesatuan. Penunjukan yang sama sekali tidak diduga oleh Natsir.

Sebagai ketua partai pendukung kabinet presidentiil, Natsir menganggap tidak mungkin dirinya ditunjuk menjadi formatur untuk sebuah kabinet parlementer.

Sebagai tokoh-tokoh politik, Sukarno dan Natsir tidak atau jarang bertemu. Keduanya lebih terlihat sebagai lawan politik dan lawan polemik.

Akan tetapi, rupanya Sukarno tertarik kepada Natsir yang usahanya mengalihkan Negara Serikat ke Negara Kesatuan dengan cara yang membahagiakan semua kalangan. Sukarno juga berbahagia karena dia tetap menjadi presiden.

Tetapi, masa-masa bahagia itu singkat sekali. Pada waktu Natsir hendak menetapkan politik pemerintah, Sukarno hendak menyampaikan sepatah dua patah kata. Agaknya Sukarno mengira, karena Masyumi adalah pendukung kuat kabinet presidentiil, maka Natsir tentu akan memperbolehkan Sukarno bicara dalam rapat kabinet. Ternyata Natsir berpendapat, sebagai Perdana Menteri, dia harus menentukan sendiri politik pemerintah, karena dialah yang bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan.

Perbedaan politik terutama terjadi soal Irian Barat (kini Papua). Dalam soal Irian Barat, Natsir tidak dapat mengikuti politik Sukarno.

Mengenai hubungan antara Natsir dengan Sukarno di kemudian hari, nanti akan banyak yang dapat diceritakan. ()

Pengantar Redaksi

PADA 16 Juni 1982, Mr. Mohamad Roem berceramah mengenai proses peralihan dari Negara RIS ke Negara Kesatuan. Ceramah di depan mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa itu disampaikan di Hotel Babylon, Den Haag dalam bahasa Belanda.

Terjemahan bahasa Indonesia ceramah tersebut dimuat dalam Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta, (Bulan Bintang, 1988, hlm 87-98).

Kami berpendapat ceramah yang sudah berusia 42 tahun ini penting disebarluaskan kembali agar kita yang gemar teriak "Saya NKRI," atau "NKRI harga mati," memahami bagaimana para pendahulu kita dengan telaten mengalihkan Negara Serikat ke Negara Kesatuan, menurut Menteri Luar Negeri pada Kabinet Natsir, dengan cara-cara yang membahagiakan semua orang.

Yang tidak kurang pentingnya, orang-orang harus tahu bahwa tokoh paling penting di balik peralihan ke Negara Kesatuan adalah Mohammad Natsir, murid guru utama Persatuan Islam, Ustadz S. Hassan. 

Dalam riwayat gerakan modern Islam di Indonesia, seperti antara lain ditulis oleh Deliar Noer, Persatuan Islam tergolong organisasi Islam yang puritan. Dalam soal anti-Takhayul, Bid'ah, dan Khurafat, sikap Persis lebih keras dari Muhammadiyah.

Dari rahim Persis itulah, lahir seorang tokoh yang dengan cara-cara santun, mengajak 16 negara bagian dan tokoh-tokoh politik masa itu untuk beralih dari RIS ke Negara Kesatuan.

Bagi mereka yang biasa berjualan radikal-radikul dan telorasin, tentu aneh, seorang yang berasal dari organisasi Islam "garis keras" bisa meyakinkan berbagai pihak untuk beralih ke Negara Kesatuan tanpa seorang atau segolongan pun yang dipermalukan, tanpa sebutir peluru pun yang diletuskan.

Membaca riwayat NKRI adalah membaca politik santun Ustadz Mohammad Natsir yang teguh pendirian, meyakini kebenaran ajaran Islam, tapi siap berdialog dengan siapa pun.

Mengertilah siapa  yang mau mengerti...,

Lukman Hakiem (Pemerhati Sejarah)