Kebijakan Presiden Jokowi terkait penggunaan Tenaga kerja Asing dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) memperkecil peluang tenaga kerja lokal.
Demikian diucapkan Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar dalam keterangan pers, Senin (9/4/18)
Menurutnya, Perpres tersebut mempermudah TKA memperoleh pekerjaan. Sedangkan, posisi tenaga kerja lokal nantinya akan semakin sulit.
“Keluarnya peraturan tersebut secara alamiah akan memperkecil kesempatan pekerja Indonesia,” ujarnya.
Rofi menambahkan, pemerintah mengeluarkan perpres ini dengan kacamata tunggal dan pola pikir eksternalitas, terlebih pemerintah dianggap tidak cukup cermat memperhatikan faktor-faktor penentu lainnya secara internal.
Karena, berdasarkan data dari Kemenakertrans, jumlah pengawas TKA sangat sedikit, yakni hanya 1.200 orang. Tidak sebanding dengan kebutuhan pengawas terhadap TKA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
“Proses pengawasan yang tidak optimal akan berdampak pada penggunaan TKA pada bidang-bidang kerja yang seharusnya ditempati oleh pekerja domestik,” tegas Rofi Munawar.
Hal ini terbukti pada pasal 22 yang menyebut TKA bisa menggunakan jenis visa tinggal sementara (vitas) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak.
Namun beleid tersebut tidak menjelaskan secara spesifik dan jelas karakteristik mendadak yang dimaksud. Tentu saja jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin akan dipermainkan sejumlah oknum TKA.
“Pemerintah harus cermat menentukan kebijakan dan regulasi yang akan diambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja dalam negeri,” ujar Rofi Munawar
Legislator dari Fraksi PKS ini mengingatkan pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan ini harusnya melihat kebutuhan dan permintaan TKA, disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada. TKA yang didatangkan oleh perusahaan hendaknya benar-benar tenaga yang terampil sehingga dapat mendorong investasi, proses pembangunan ekonomi dan teknologi di Indonesia.
Oleh karenanya, proses alih teknologinya harus terjadi pada aspek strategis dan profesional teknis, agar mendapat pengawasan yang ketat dengan memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut. “Saya berkeyakinan masih banyak putra-putri bangsa Indonesia yang cukup mumpuni untuk memegang pekerjaan yang selama ini dikerjakan untuk TKA,” ucapnya.[far]