Telusur.co.id - Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH***
SEKURANGNYA ada 79 item perubahan mendasar pada level Undang Undang, termasuk dalam kaitannya dengan pengelolaan Suber Daya Alam (SDA) yang diadakan perubahan oleh UU Ciptaker. Satu diantaranya adalah pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Analisis berikut mencatat bagaimana pengelolaan Sumber Daya Perikanan yang menurut UU yang lama sebenarnya masih belum selesai, tetapi tenyata “ikut” diadakan perubahan oleh UU Ciptaker.
Berpotensi Pelanggaran dan Mengatasinya
Terhadap pelanggaran-pelangaran perikanan terutama dalam bidang pidana, berdasarkan peraturan perikanan telah dibentuk pengadilan khusus mengenai perikanan yang berada di pengadilan negeri dan saat ini sudah ada sebanyak tujuh pengadilan perikanan, yaitu pengadilan negeri (PN) Jakarta utara, PN Pontianak, PN Medan, PN Bitung, PN Tual, PN Tanjung Pinang, dan PN Ranai. Pengadilan perikanan dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat penyelesaian perkara dan yang mengadili adalah hakim-hakim khusus yang menguasai hukum perikanan. Negara kita sejak tahun 2002 sebagai produksen ikan terbesar sedunia dan sector perikanan menjadi penyumbang terbesar dari bidang kelautan yang memberi masukan potensial bagi devisa Negara.
Hasil perikanan selama ini tidak dinikmati sendiri tetapi sebagian di ekspor kelar negeri. Indonesia telah mengekspor produk perikanan ke berbagai Negara, Timur Tengah dan Eropa Timur serta Amerika Serikat . Pasaran ekspordi Negara-negara timur tengah adalah Saudi Arabia, Libya, Jordania, Mesir, Dan Uni Emirat Arab. Sedangkan untuk Negara eropa timur yaiturusia, Slovenia, Polandia, Lithuania dan Bulgari. Rata-rata ekspor produk perikanan selalu meningkat tiap tahunnya. Meskipun demikian dalam bidang ekspor bukan tidak ada persingan, dalam bidang bisnis selalu ada persaingan. Untuk produk perikanan, Indonesia bersaing keras dengan Filipina dan Thailand. Namun jika kita mau bekerja keras dan tetap menjaga mutu yang prima, target ekspor produk perikanan diharapkan akan dapat tercapai
Penegakan hukum dalam bidang perikanan ada berbagai masalah yang dihadapi seperti rawan kolusi dan korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan tingkat pengadilan. Ditingkat penyidikan saat petugas patrol di perairan yang luas melakukan pemeriksaan terhadap surat-surat berhubungan dengan penangkapan ikan dan surat-surat kelengkapan kapal perikanan. Malaysia pernah menuding petugas DKP memeras nelayan Malaysia saat di tangkap di perairan bintan bulan agustus 2010 yang lalu, dengan meminta imbalan uang agar bisa dibebaskan dari penahanan. Meskipun hal tersebut sulit di buktikan kebenarannya, akan tetapi dilautan yang luas dengan minim/tidak adanya
pengawasan tidak pernah terjadi. Kasus illegal fishing merupakan kisah lama yang tidak pernah tuntas,karena dari dulu ceritanya selalu sama,yaitu adanya permintaan aktivitas illegal (pencurian ikan).
Rawan Penyelewengan
Ironisnya, permintaan tersebut diterima secara diam-diam dan bahkan terbuka, asalkan sesuai dengan tarif (uang pelicin) yang disyaratkan oleh para petugas dan aparat penegak hukum. Kapal asing sengaja dibiarkan masuk untuk menambah kekayaan oknum aparatur. Hal ini dikarenakan setiap kapal yang tertangkap diharuskan membayar minimal puluhan juta rupiah bahkan terkadang sampai ratusan juta rupiah sesuai dengan harga izin resmi. Dengan batas wilayah Negara RI yang berupa perairan sangat luas dan bertetangga dengan Negara-negara lain memerlukan pengawasan di perbatasan, agar kapal-kapal asing tidak dengan seenaknya memasuki Negara kita tanpa mematuhi atuan yang berlaku. Patroli keamanan laut adalah operasi kehadiran di laut yang memiliki nilai strategis bagi eksistensi kedaulatan bangsa dan keamanan laut di wilayah yuridiksi nasional Indonesia. Gangguan keamanan dan pelanggaran dilaut berupa pencurian ikan, pencurian kayu, dan sumber daya alam lainnya serta pelanggaran batas wilayah oleh kapal asing membutuhkan kehadiran kapal patroli untuk pengamanan. Keterbatasan jumlah kapal dan anggaran yang disediakan oleh Negara serta kebutuhan pengamanan wilayah laut NKRI mengakibatkan perlu adanya tuntutan pemikiran tentang pengoptimalan penugasan kapal patroli di sektor operasi keamanan laut dan penempatan ke pangkalan pendukungnya, sehingga tepat jenis dan jumlah serta biaya operasional dalam pengamanan.
Dari sisi teknis, jumlah kapal patroli yang tidak seimbang dengan luas wilayah perairan terutama di perbatasan merupakan masalah untuk pengamanan pengelolaan perikanan Indonesia. Jumlah kapal pengawas laut milik kelautan dan perikanan,kementrian kelautan dan perikanan RI hanya sebanyak 24 kapal. Jumlah tersebut tampak tidak ideal untuk dapat mengawasi lusnya laut Indonesia, karena berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh badan riset dan kelautan perikanan, jumlah idealnya adalah 80 unit hingga 90 unit kapal pengawas.
Tindakan menenggelamkan kapal illegal pada dasarnya bukan merupakan kebijakan baru bagi Pemerintah Indonesia, karena kebijakan ini pernah dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Seperti diketahui salah satu fungsi penerapan sanksi hukum adalah agar timbul efek jera pada pelaku pelanggaran atau kejahatan. Lemahnya penegakan hukum selama ini dan tidak adanya penindakan terhadap pelaku pelanggaran atau kejahatan terjadi karena tidak berorientasi kepada efek jera dapat dianggap sebagai kontribusi negara secara tidak langsung terhadap suburnya tindak pidana yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakmampuan negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada warganya, baik nelayan pada khususnya maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai pemilik sumber daya laut Indonesia.
Bahwasanya di dalam hukum, khususnya hukum pidana yang diatur adalah tentang perilaku yang harus ditaati oleh setiap subjek hukum, perbuatan mana yang boleh dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma/penyelewengan terhadap norma inilah yang dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Penyelewengan yang demikian biasanya oleh masyarakat disebut sebagai suatu
pelanggaran, bahkan sebagai suatu kejahatan. Oleh karena itu, terhadap kapal asing illegal yang melakukan pencurian ikan perlu diberi efek jera dengan cara menindak tegas pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuannya untuk menghindari kerugian masyarakat dan negara yang lebih besar. Kebijakan penenggelaman kapal asing illegal diyakini tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia dengan negara lain.
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, terdapat lima alasan kenapa kebijakan tersebut justru layak didukung dan tidak akan memperburuk hubungan antarnegara. Pertama, tidak ada negara di dunia ini yang membenarkan tindakan warganya yang melakukan kejahatan di negara lain. Kapal asing yang ditenggelamkan merupakan kapal yang tidak berizin untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia, sehingga disebut tindakan kriminal. Kedua, tindakan penenggelaman dilakukan di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia (zona ekonomi eksklusif). Ketiga, tindakan penenggelaman dilakukan atas dasar ketentuan hukum yang sah, yaitu Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan Keempat, negara lain harus memahami bahwa Indonesia dirugikan dengan tindakan kriminal tersebut jika terus dibiarkan. 10 Namun demikian, pemerintah perlu mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada negara-negara lain.
Hikmahanto Juwana menegaskan mekanisme yang dapat dilakukan pemerintah adalah menginformasikan kebijakan tersebut kepada para duta besar yang bertugas di Indonesia untuk meneruskannya kepada pemerintah masing-masing, terutama kepada negara-negara yang kapalnya kerap memasuki wilayah Indonesia secara ilegal, seperti Thailand, Filipina, Malaysia, Tiongkok, dan juga perwakilan Taiwan. Langkah selanjutnya, Pemerintah berkoordinasi dengan perwakilan negara yang kapalnya ditenggelamkan. Dengan demikian, hubungan baik antar negara diharapkan tetap terjaga. Illegal Fishing telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan agar sumber daya ikan tetap lestari serta pemanfaatannya dapat optimal dan berkelanjutan. Pasal 8 ayat 1,2, dan 3, Pasal 9 dan Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan mengatur tentang larangan terhadap penggunaan bahan peledak, bahan beracun dan aliran listrik.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan adalah : “Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak termasuk dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengelola, dan/atau mengawetkan”. Dalam hukum pidana terdapat asas lex specialis derogate legi generalis, yang berarti peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum. Maksudnya apabila undang-undang telah mengatur tentang suatu tindak pidana maka tidak perlu menggunakan aturan yang ada dalam KUHP. Sehingga dalam perkara tentang penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau bahan peledak aturan yang digunakan hendaknya undang-undang yang ada yaitu Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.*** (BERSAMBUNG)
*** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.