Presiden Selanjutnya: Tetap Kedaulatan Ada Di Tangan “Rakyat”, Bukan Milik “Jokowi” - Telusur

Presiden Selanjutnya: Tetap Kedaulatan Ada Di Tangan “Rakyat”, Bukan Milik “Jokowi”


Telusur.co.id - Oleh Pangi Syarwi Chaniago (Analis Politik Sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting)

Hari-hari ini kita sedang dipertontonkan drama politik yang sedang dimainkan oleh presiden Jokowi, satu langkah sudah dimenangkan meski melalui jalan terjal dan berliku. Megawati dan PDI-P akhirnya takluk dengan secara resmi mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden. 

Deklarasi pengumuman capres dari PDI-P yang semula dijanjikan Megawati pada HUT PDI-P yang ke-50 bertepatan pada hari Haul Bung Karno, 1 Juni 2023, namun pengumumannya jauh lebih cepat dari itu, kita terkaget-kaget ketika PDI-P dan Megawati mengumumkan capresnya di saat semua orang lagi berfikir mudik pakai apa? dan lagi fokus masak opor Ayam persiapan menu lebaran, wajar kita bartanya-tanya, kekuatan  apa yang membisikkan Megawati sampai begitu cepat deklarasi Ganjar diumumkan sebagai capres PDI-P? 

Langkah berikutnya, Jokowi ingin memastikan calon wakil presiden yang berpasangan dengan Ganjar adalah orang yang tepat sesuai dengan yang ia inginkan, maka relawan pro Jokowi adalah senjata paling ampuh yang kembali digerakkan memalui serangkaian acara bertajuk Musyawarah Rakyat (Musra). Musra sepertinya sudah dijadikan sebagai daya tawar / *bargaining position* oleh Jokowi untuk bernegosiasi dengan partai politik (terutama dengan PDI-P) untuk memuluskan langkahnya, dan sejauh ini telah terbukti cukup ampuh.

Melalui ajang Musra ini Jokowi sedang mengirim setidaknya tiga pesan sekaligus. Pertama; pesan kepada internal relawan untuk bahu membahu melakukan penguatan soliditas relawan. Kedua; pesan kepada partai politik untuk mendengarkan suara relawan, suara relawan harus diperhitungkan. Ketiga; selain dukungan partai politik, saya (Jokowi) masih punya dukungan jejaring yang kuat di akar rumput melalui simpul-simpul relawan.

Namun langkah politik presiden Jokowi ini tidak sepenuhnya bisa diterima, ini akan menjadi “preseden” buruk di mana presiden yang sedang berkuasa tanpa rasa malu menjadikan dirinya makelar demi kepentingan politik temporal  dan merendahkan dirinya sendiri, seorang presiden sudah selayaknya naik level menjadi seorang negarawan bukan hanya sekadar politisi pragmatis gila kuasa.

Terlibat aktif dalam melakukan negosiasi bahkan menunjukkan dukungan secara terbuka akan memberikan dampak negatif yang sangat berbahaya terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 nanti, netralitas akan menjadi isapan jempol baik dari penyelenggara dan bahkan dari aparat negara yang lain (ASN, TNI-POLRI). Itu artinya penyelenggaraan pemilu yang curang sudah di depan mata.

Lebih jauh jika kita cermati pidato berapi-api Jokowi di hadapan relawan yang penuh dengan harapan, janji dan jargon politik yang selalu membawa-bawa nama “rakyat”, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai, pidato berapi-api di hadapan relawan ini seperti menimbulkan kesan bahwa Jokowi lebih terlihat sebagai seorang calon presiden ketimbang “King Maker”.

Demikian juga konteks pidato Jokowi sebagai seorang presiden, pidato ini penuh dengan gambaran lemahnya pemerintahan sekarang yang harus diselesaikan dan carikan jalan keluarnya oleh pemerintahan mendatang. Ini seperti kata pepatah “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri” artinya Jokowi sedang mempertontonkan kegagalannya memimpin dalam 9 tahun terakhir.   

Upaya presiden Jokowi untuk memberikan pesan dan dukungan politik terhadap kandidat tertentu sejauh ini pengaruhnya terbilang rendah, hal  ini setidaknya tergambar dari data survei yang dilakukan oleh Voxpol Center Research and Consulting pada November 2022 menunjukkan hanya 25% pemilih yang mengaku pilihan politiknya terpengaruh oleh arah dukungan yang diberikan oleh presiden Jokowi,  sisanya mayoritas publik 65,7 % tidak terpengaruh capres dukungan Jokowi terhadap keputusan rakyat dalam memilih dan 9,3% tidak menjawab. 

Itu artinya, arah dukungan (endorse) presiden Jokowi tidak memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk mengiring pemilih kepada kandidat tertentu, Jadi pada akhirnya yang terkesan di benak publik adalah presiden  tampaknya ingin memaksakan pesan seolah-olah kriteria capres-atau cawapres pilihan beliau itulah real selera rakyat walaupun kenyataannya berkata lain. 

Presiden yang sedang berkuasa ngak bisa membuldoser jeroan kehendak rakyat, Jangan sampai seolah-olah suara presiden adalah representasi suara rakyat, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat bukan kedaulatan berada di tangan Presiden Jokowi. Tetap rakyat yang berdaulat, presiden Jokowi hanya menjalankan mandat rakyat, jangan sampai  presiden sabotase daulat rakyat. 

Jangan dibonsai suara rakyat, kriteria presiden biarlah rakyat secara “emperik objektif” yang  menentukan yang tidak boleh di intervensi oleh pikiran “intersubjektif” presiden Jokowi itu sendiri, biarkan lah rakyat secara mandiri menentukan nasibnya sendiri di dalam memutuskan preferensi pilihan  presiden yang tepat untuk masa depan Indonesia selanjutnya berdasarkan kebutuhan selera jeroan grassroot rakyat arus bawah bukan arus elite. 

Apalagi Gen-Z dan Gen- Milenial  yang presentasenya mencapai 60 persen, tidak mudah terpengaruh oleh tokoh agama, adat, orang tua mereka, tokoh berpengaruh seperti RW, RT, Lurah, Camat dan aparatur pemerintah lainnya termasuk  presiden sekalipun, mereka relatifly punya preferensi politik yang cukup memadai dan punya banyak kanal informasi sehingga keputusan politik mereka benar-benar otonom alias tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun. Perilaku pemilih yang masuk kategorisasi pemilih yang sangat rational, psikologis, kritis, integritas, memperhatikan rekam jejak, basis kinerja dan prestasi dan kompetensi kapasitas kandidat pemimpin yang bakal mereka putuskan untuk dipilih. 

Cara merawat demokrasi adalah dengan cara bagaimana  presiden  Jokowi netral, bagaimana Jokowi berfikir keras untuk menyukseskan pemilu 2024, tidak cawe-cawe, tidak  grasak-grusukan menyiapkan dan menyukseskan presiden penganti beliau. Presiden partisan di dalam pemilu jelas meninggalkan legecy yang buruk bagi sistem pemilu dan demokrasi kita, presiden selanjutnya tentu berpotensi melakukan hal yang sama, karena tak ada pembelajaran dan contoh ketauladanan dari seorang negarawan, ibarat kain sarung muter-muter di situ. Presiden tidak mau dilecehkan, tapi kalau presiden terlalu jauh cawe-cawe di dalam menentukan presiden penerus beliau, tentu ada resiko besar yang menunggu beliau, kalau kalah jagoannya maka siap-siap presiden Jokowi akan dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan setelah tidak lagi berkuasa menjabat sebagai presiden. 


Tinggalkan Komentar