Oleh: KH. Jamaluddin Faisal Hasyim*
PRESTASI biasanya diantomimjan dengan prestise/gengsi. Namun hari-hari ini prestasi seakan dikonfrontasikan dengan rasa kemanusiaan dan komitmen terhadap konstitusi.
Hari-hari ini, republik berduka karena keputusan pembatalan tuan rumah Piala U-20 oleh FIFA. Tiba-tiba seluruh negeri berduka.
Lalu muncul kecaman bahkan hujatan kepada beberapa pihak yang sebelumnya menyuarakan agar negara kita menolak kehadiran Timnas Israel, sesuai amanat konstitusi dan rasa kemanusiaan terhadap bangsa Palestina.
Pihak yang menolak tersebut berasal dari banyak kelompok, baik ormas Islam dan tokoh-tokoh nasional. Yang paling fenomenal, dan ini yang nampaknya memicu kemarahan FIFA, adalah penolakan oleh Gubernur Jateng dan Bali.
Padahal kedua provinsi ini menjadi tuan rumah event akbar tersebut. Padahal sebelumnya mereka bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya memberikan jaminan bagi penyelenggaraan event ini di daerah mereka.
Kedua gubernur seperti "dirujak" oleh netizen, berikut sumpah serapahnya. Mereka dianggap mematikan kesempatan Indonesia berlaga dan menjadi tuan rumah di event internasional yang sangat bergengsi ini.
Salahkah kedua beliau? Atau para tokoh nasional dan ormas keagamaan yang menyuarakan hal yang sama?
Belakangan muncul statement FIFA agar tidak mencampuradukkan olahraga dan politik. Di saat yang sama lembaga ini menolak keterlibatan Timnas Rusia karena menginvasi Ukraina.
Lho.. lho.. bagaimana ini? Benarkah olahraga harus steril dari politik? Lalu bagaimana dengan kasus Rusia itu? Apakah definisi politik harus mengikuti standar FIFA dimana mereka bebas menentukan standar ganda versi mereka?
Bila Ukraina mendapat simpati yang patut tentu kita mengapresiasi. Mengapa Palestina seakan tidak berhak mendapat simpati yang sama? Apa karena Ukraina sama-sama bangsa kulit putih, sedangkan Palestina adalah bangsa Arab yang tidak berarti bagi mereka?
Bagaimana kita melihat FIFA ini? Patutkah kita merasa rendah diri divonis oleh lembaga yang standar ganda semacam itu? Apakah kita menundukkan kepala begitu saja mengikuti standar politik versi mereka? Lalu dimana konstitusi kita yang begitu tegas bicara kemanusiaan?
Mimpi berlaga di event internasional tentu mimpi semua anak bangsa. Namun haruskah kita melacurkan spirit kemanusiaan kita demi prestasi dan prestise sebagai bangsa?
Kita tentu simpati melihat kekecewaan atlet-atlet muda kita yang berbakat. Yang perlu dilakukan seharusnya membangun kembali motivasi mereka tanpa sibuk mencari kambing hitam, dan kedaulatan sebagai bangsa harus tegak di depan FIFA meski sadar sikap patriotik di depan lembaga hipokrit itu tidak banyak membantu.
Namun setidaknya kita masih memberikan bekal kepada generasi penerus sebuah kisah heroik yang tidak akan pernah disesali selamanya.
Mari kita bangkit sambil terus berjuang demi dunia yang berkeadilan betapapun berat dan pahitnya jalan tersebut. Kemuliaan dan marwah bangsa memang tidak murah, namun harus terus diperjuangkan.
*) Penulis adalah Ketua Koordinasi Dakwah Islam DKI Jakarta