telusur.co.id - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun mengapresiasi, keputusan Mahkamah Agung memutasi 199 hakim dan 68 panitera di berbagai daerah, sebagai bentuk kepedulian MA terhadap perilaku sejumlah hakim yang dinilai tidak profesional dalam menangani perkara.
Namun, hal itu belum sebagai solusi untuk menghapus image pengadilan seperti goa hantu dan menghadirkan wajah pengadilan yaitu, tempat yang mengerikan karena kerap terjadi transaksional.
“Persoalannya tidak sesimple itu. Tidak bisa juga dikatakan setelah dimutasi lantas masalah selesai,” ujar Prof Gayus Lumbuun, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Mutasi merupakan proses yang sudah biasa dilakukan. Namun, dipertanyakan, apakah dengan mutasi ada jaminan seorang hakim akan konstan berperilaku baik? Karena bisa jadi yang baik malah dimutasi, sementara yang busuk tidak.
Mutasi itu juga ibarat penyegaran (refresh) atau tour of duty saja, tapi belum tentu menghapus tabiat dan motivasi seseorang saat menjadi hakim. Kalau mutasi dilakukan sementara orang-orangnya tidak dievaluasi kinerjanya tidak akan membawa dampak apapun.
Pasalnya, kalau tabiatnya memang serakah atau motivasinya menjadi hakim hanya untuk memperkaya diri sendiri, ya tentu akan tetap seperti itu.
“Mau dimutasi kemanapun juga. Jadi, masalahnya tidak sesederhana itu,” tegasnya.
Prof Gayus memberi solusi yaitu melakukan evaluasi kinerja seluruh hakim dan panitera secara terbuka. Tentu diawali dengan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
“Dari evaluasi tersebut akan ketahuan mana hakim/panitera yang baik, mana yang busuk atau bahkan masuk kelompok mafia peradilan atau makelar kasus (markus).
Prof Gayus menegaskan, evaluasi para hakim harus dipimpin langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto sebagai Kepala Negara. Bisa dibentuk semacam tim independen, panitia seleksi (pansel) atau lembaga/badan khusus untuk menjalankannya. (fie)