telusur.co.id - Kesiapan kota dalam menghadapi bencana merupakan salah satu faktor kunci penentu keberlanjutan sebuah kota. Oleh karena itu, Profesor ke-189 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Adjie Pamungkas ST MDev Plg PhD mencetuskan model perencanaan berbasis risiko dalam membangun ketahanan kota terhadap bencana.
Guru Besar pertama dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS ini mengatakan, gagasan ini muncul setelah bencana tsunami menghantam Aceh pada 2004 lalu. Salah satu bencana terbesar di Indonesia itu menyadarkannya bahwa parameter bencana masih diabaikan dalam proses perencanaan wilayah dan kota.
“Padahal, dampaknya tidak saja mengganggu kenyamanan, tapi juga rasa aman,” ujar Adjie mengingatkan. Selasa, (02/1/2024).
Dalam penerapan model perencanaan berbasis risiko, menurut Adjie, langkah pertama yang dilakukan adalah menambahkan unsur kebencanaan secara spesifik pada setiap bagian materi rencana tata ruang. Di antara unsur tersebut adalah penggunaan data dan analisis bencana yang komprehensif, penentuan kebijakan pro ketahanan kota, hingga penyediaan infrastruktur pengurangan risiko dan infrastruktur kedaruratan.
Lulusan University of Queensland, Australia ini menyebutkan salah satu penerapan kebijakan yang pro ketahanan kota. Wujudnya dapat berupa regulasi mengenai utilitas pendukung bangunan kompleks untuk membantu bangunan sederhana melewati masa kedaruratan.
“Implementasinya bisa dengan penambahan volume cadangan air pada gedung hotel, sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar saat kondisi darurat,” jelasnya.
Lebih lanjut, infrastruktur pengurangan risiko dan infrastruktur kedaruratan yang berhasil Adjie kembangkan adalah Sistem Informasi Darurat Gempa (SIGAP). Situs ini dapat mendeteksi sumber infrastruktur kedaruratan, memonitor kondisi, ketersediaan, dan proses perpindahan dari sumber penyedia menuju korban bencana.
“Dengan demikian, proses penyediaan infrastruktur kedaruratan menjadi lebih efektif dan efisien,” imbuh Prof Adjie.
Setelah merencanakan kota dengan sistem dan perencanaan berbasis risiko yang baik, langkah selanjutnya adalah menyiapkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pemahaman masyarakat terhadap bencana dapat ditingkatkan melalui pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan penanganan kebencanaan. Dalam hal ini, pemerintah wajib memprioritaskan kelompok yang rentan saat terjadi bencana, salah satunya penyandang disabilitas.
Berangkat dari gagasan tersebut, Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS melakukan simulasi evaluasi gempa menggunakan jalur evakuasi inklusif di Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) di Keputih, Surabaya.
Proyek tim Puslit MKPI ITS yang berada di bawah pimpinan Adjie ini juga menghadirkan peta Evakuasi Raba Berbicara (Evari) untuk mempermudah pembelajaran evakuasi gempa bumi bagi orang disabilitas netra melalui table top exercise.
Terakhir, mantan Kepala Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS ini menyampaikan harapan dalam orasi ilmiahnya yang dibacakan saat pengukuhannya sebagai profesor di ITS. Sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi di bidang perencanaan, hasil riset yang telah dilakukan harus bisa ditransformasikan ke dalam kebijakan, regulasi, maupun praktik yang berlaku di lapangan.
“Dengan demikian, kota-kota di Indonesia akan memiliki ketahanan dan keberlanjutan,” tutup Prof Adjie. (ari)