Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
The silent majority, suara publik yang bisu, yang tak terdengar, yang tersembunyi, ini harus kita ketahui untuk memahami Ironi.
Ini ironinya. Saat ini semakin banyak kalangan terpelajar di kampus yang bergerak, mengkritik Jokowi. Tapi Jokowi justru semakin dan semakin populer. Justru semakin banyak publik luas yang puas dengan kinerja Jokowi.
Kalangan terpelajar di kampus bergerak mengkritik Prabowo dan Gibran. Tapi yang terdengar elektabilitas Prabowo dan Gibran justru meningkat, terus meningkat lagi, menuju satu putaran saja.
Mengapa ironi ini terjadi? Kita mulai dulu dari berita. Yang kini heboh adalah suara dari kampus mengkritik Jokowi. Terdengar sikap kritis itu dari UI, UGM, UNPAD, UII, dan banyak kampus lainnya.
Mereka menyuarakan hal yang sama. Umumnya itu soal etika bernegara, netralitas dari aparat, dan demokrasi yang mendung.
Namun di saat yang sama, hasil survei menunjukkan justru pasangan yang berasosiasi kuat dengan Jokowi, Prabowo-Gibran, elektabilitas pasangan ini semakin tinggi.
Kita urut dulu dari berita Majalah tersohor dunia: The Economist. Ia mencoba membuat satu tabulasi hasil survei di tanah air. Hasilnya menurut majalah ini Prabowo-Gibran dipilih paling atas, di angka 47%. Prabowo-Gibran mengungguli pasangan lainnya telak sekali dengan selisih double digit.
Juga survei dari dunia internasional lain: Roy Morgan. Survei lembaga ini yang terbaru, yang dibuat dengan data bulan Desember 2024, juga Prabowo-Gibran, di posisi paling atas 43%. Pasangan ini mengungguli pasangan Ganjar dan pasangan Anies juga dengan telak sekali, berselisih double digit
Roy Morgan menggunakan data lama, data bulan Desember 2023. Sementara kini sudah bulan Febuari 2024.
Lembaga survei di dalam negeri lebih updated. Berbagai lembaga survei yang sudah malang melintang sejak Pilpres sebelumnya, sudah juga mengumumkan hasilnya yang jauh lebih mutakhir.
Yang paling baru data survei hingga akhir Januari 2024. Salah satunya LSI Denny JA. Ini publikasinya yang tempo hari yang begitu heboh.
LSI Denny JA mengumumkan untuk pertama kalinya Prabowo Gibran menembus elektabilitas 50,7%. Itu membuka kemungkinan sangat besar pertarungan pilpres ini dimenangkan Prabowo- Gibran dengan satu putaran saja.
Juga pada survei yang sama, kepuasan publik kepada Jokowi masih tinggi sekali. Walau dikritik keras sekali sejak lama, untuk isu-isu demokrasi, dinasti, soal MK, kepuasan publik kepara Jokowi masih sangat, sangat, dan sangatlah bagus.
Sejak bulan Juni tahun lalu (2023) hingga Januari akhir 2024, approval rating Jokowi selalu di angka 75% sampai 82%. Di akhir januari 2024, kepuasan publik kepada Jokowi, di angka 80,8%.
Jika kita breakdown ke pemilih kalangan terpelajar, kepuasannya pada Jokowi memang lebih kecil dibandingkan kepuasan publik secara rata-rata, atau kepuasan publik di kalangan wong cilik.
Di kalangan terpelajar, yang puas kepada Jokowi sedikit lebih rendah itu di angka 77,9%. Tapi itu pun sudah approval rating yang tinggi sekali.
Bahkan di kalangan terpelajar, yang tak puas pada Jokowi hanyalah di angka 21,8%. Bisa kita katakan, semua yang mengkritik Jokowi dari kampus di atas, itu bagian dari yang tak puas sebanyak 21,8%. Tapi di kampus yang sama, rata rata yang puas pada Jokowi hampir empat kali lebih banyak (77,9%).
Hal yang sama terjadi kepada elektabilitas Prabowo-Gibran. Memang elektabilitas kepada pasangan ini di kalangan terpelajar lebih rendah dibanding rata-rata pemilih, atau dibandingkan dengan wong cilik.
Yang memilih Prabowo-Gibran angkanya 41 %. Ini tetap elektabilitas paling tinggi. Yang memilih pasangan Prabowo-Gibran bahkan di kalangan terpelajar tetap lebih tinggi dibandingkan yang memilih pasangan Anies-Muhaimin, dan yang memilih Ganjar-Mahfud.
Pertanyaannya: bagaimana kita menjelaskan ironi itu? Di awal sudah dikatakan ini karena hadirnya the silent majority.
Terminologi ini untuk menggambarkan mayoritas pemilih yang suaranya tak terpublikasi. Itu adalah fenomena universal. The Silent majority hadir di Indonesia, juga ada di Eropa di Amerika Serikat, dan di banyak negara lain.
Mengapa suara publik yang mayoritas ini menjadi bisu, tak terdengar, dan tak bersuara? Tiga alasannya.
Pertama, untuk kasus Indonesia, mayoritas pemilih yang puas pada Jokowi, yang memilih Prabowo-Gibran, yang memilih tidak bersuara, diam saja. Itu karena memang mereka sudah merasa nyaman dengan situasi sekarang.
Tak ada keperluan mereka untuk ikut ribut-ribut bersuara. Umumnya mereka tidak berkarakter aktivis. Mengapa pula harus menampilkan suara mereka di ruang publik?
Alasan kedua, mereka menghindari konfrontasi dengan the vocal minority. Mereka tak ingin menghabiskan energi bertentangan dengan yang berbeda haluan. Apa pula manfaat konfrontasi itu bagi hidup sehari-hari mereka?
Alasan ketiga, para pemilih dalam barisan the silent majority memllih bisu, karena mereka memiliki orientasi dan prioritas hidup yang berbeda.
Misalnya, bagi the silent majority, isu dinasti atau isu demokrasi atau isu etika tidak menjadi prioritas utama hidup. Mereka lebih disentuh oleh isu ekonomi, akses pada fasilitas kesehatan, kesempatan pendidikan, dan lain sebagainya.
Saya sendiri secara pribadi selalu menghargai dan mendengar kritik para profesor dan akademisi dari kampus. Suara kritis itu selalu kita perlukan untuk perkembangan dan penyempurnaan ruang publik.
Tapi politik elektoral itu hal yang berbeda. Realitas persepsi publik yang lebih banyak itu justru lebih diwakili oleh The Silent Majority.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.