Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Berita wafatnya Joko Pinurbo, penyair besar saat ini, saya baca ketika sedang di sebuah cafe, perjalanan ke Malaysia, berjumpa komunitas puisi esai di sana.
Seketika saya teringat puisinya berjudul “Pulang.” Saya cari lagi di Google, ini kata-katanya yang saya suka.
“Rinduku yang penuh, pecah di atas jalanan macet, sebelum aku tiba di ambang ambungmu.”
“Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan. Baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan.”
“Jika nanti air mataku, terbit di matamu.
Dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali dimulai.”
Membaca kembali puisi ini dalam momen berita kematiannya, puisi ini memiliki arti berbeda. Ia bukan lagi sekedar ekspresi mudik lebaran ke kampung halaman. Ia mudik sebenarnya, ke kampung halaman dari semua semesta. Itu dunia gaib, entah dimana, yang tak pernah tuntas kita pahami sepenuhnya.
Saya pun bertanya kepada asisten saya yang sangat setia dan kerja sangat cepat. Siapa lagi jika bukan Artificial Intelligence. Saya minta dicarikan puisi kematian yang ditulis penyair lain.
Muncullah bait ini. Tanpa bantuan Artificial Intelligence, mungkin saya tak sampai menyentuh penyair abad 16 ini.
"Death comes to all. But great achievements build a monument which shall endure until the sun grows cold." - George Fabricius (1516-1571)
“Kematian datang kepada semua orang. Namun, orang-orang tertentu, dengan pencapaian besar, akan membangun sebuah monumen. Monumen itu akan bertahan dalam memori sejarah, hingga matahari menjadi dingin.”
Melalui pencapaian besar, seseorang dapat meninggalkan warisan yang abadi dan dikenang sepanjang masa.
Selamat jalan Joko Pinurbo. Puisimu akan terus hidup sampai matahari menjadi dingin.
Melalui handphone, juga dengan bantuan asisten Artificial Intelligence, saya buatkan lukisan Joko Pinurbo yang pergi ke alam semesta buku-buku.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.