Telusur.co.id - Usaha “mendamaikan” kubu Jokowi dan Prabowo menjelang Mahkamah Konstitusi akan memutus sengketa pemilihan umum dan menutup seluruh rangkaian pemilihan presiden dan wakil presiden yang sudah berlangsung hampir setahun terakhir, sah-sah saja dilakukan. Upaya seperti itu, mungkin bisa menurunkan “tensi” politik yang meruncing antar elite sampai terbawa ke akar rumput.
Rekonsiliasi memang perlu dilakukan, bila terjadi ketegangan ataupun koflik. Tetapi, apakah Pemilu merupakan sebuah konflik, sehingga perlu didamaikan?
Meskipun, negosiasi adalah sesuatu yang lumrah, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari politik. Namun, hal itu sangat disesalkan bila ada transaksi tawar-menawar di kamar kekuasaan yang tergembok. Bagi-bagi jatah. Dengan kata lain, bukan negosiasi mendamaikan, tapi nego berisi, minta jatah menteri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, arti rekonsiliasi: perbuatan memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Hubungan persahabatan bila terjadi ketegangan memang wajibnya didamaikan, melalui mediator ataupun orang ketiga.
Tapi, jika perbedaan pandangan politik, apakah perlu disatukan atau dibiarkan saja berkembang, sebagai kekayaan wahana pemikiran dalam mengelola negara.
Bila pandangan politik menjadi satu perpektif, maka sama saja kita me-nihil-kan peran oposisi. Padahal, melesatnya sistem demokrasi, karena ditopang oleh oposisi yang kritis terhadap kekuasaan. Oposisi loyal. Kondisi seperti ini, membuat politik tak lagi bicara soal capaian kolektif.
Politik dalam jubah ambisi ini bakal membuat demokrasi mungkin mati suri. Menjadi mogok dan kehilangan energi. Akhirnya, demokrasi menjadi terkunci dalam kamar-kamar transaksi. Dan, Hikmat Kebijaksanaan hanya mantra sekadarnya di ruang terbuka.
Adapun, indikasi kuat partai politik dari kubu Prabowo-Sandi, ancang-ancang bakal lompat perahu ke kubu Jokowi-Ma’ruf Amin sejauh ini yang terlihat adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat. Karena, elite kedua partai itu tersorot aktif berkomunikasi dengan Presiden Jokowi.
Kelakuan “lompat perahu” ini bukan kali pertama. Pilpres 2014 lalu, PAN dan Golkar juga melakukan aksi serupa, meninggalkan koalisi Prabowo-Hatta, setelah ada tanda-tanda jagoannya kalah.
Sebenarnya, kebiasaan semacam ini tidak semestinya diterima sebagai sebuah kelumrahan. Karena, penyalahgunaaan kekuasaan atau obuse of power berpotensi terjadi. Disebabkan, kekuasaan akan merasa setiap keputusan yang dibuat pasti tanpa hambatan karena disokong oleh koalisi gemuknya.
Seharusnya, semua peran itu adalah Istimewa. Baik posisi maupun oposisi.
Memang, tidak dinafikkan, kekuasaan itu menggiurkan untuk “dikangkangi” dalam upaya membesarkan anatomi partai politik. Dengan sumber daya keuangan yang memadai di kekuasaan, roda perekonomian partai akan berjalan dengan baik.
Dan, kue kekuasaan itu manis untuk kerubuni. Bahkan, kemungkinan akan saling jagal antar partai, maupun “setor muka (menjilat)” ke penguasa, akan dilakukan. Bukan, sesuatu yang tabu, mungkin!
Pelayaran sistem demokrasi di Indonesia, seharusnya sudah menuju Candradimuka seperti yang di cita-citakan. Caranya, dalam bertarung pada Pemilu, harus siap kalah, dan sudah pasti siap menang.
Pihak yang menang, berhak mengelola pemerintahan mewujudkan janji-janjinya dengan landasan Pancasila. Bagi pihak yang kalah, harus siap menjadi “penggonggong” setiap kebijakan kekuasaan yang salah kaprah. Jadi, semua mempunyai andil dalam membesarkan Indonesia.
Tujuan terbesar semua ialah mewujudkan cita-cita bangsa, seperti yang termaktub pada alinea terakhir preambule Undang-Undang Dasar 1945: mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita juga berharap, berakhirnya rangakaian pesta rakyat ini, wajah demokrasi kita akan menunjukkan budaya politik yang baru. Tidak silau dengan tawaran kekuasaan, dan setia beroposisi. Karena, semua adalah posisi yang terbaik. Baik di luar maupun di dalam ring kekuasaan. Semua posisi mulia. Semoga!!!
Tio Pirnando (Wartawan telusur.co.id)