Telusur.co.id -Penulis: Azzahra Putri Firmansyah, Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Tahun 2025 akan menjadi tahun penuh tantangan bagi masyarakat Indonesia. Baru-baru ini masyarakat Indonesia digemparkan dengan kepastian akan kenaikan tarif PPN menjadi 12% per Januari 2025 hal ini menimbulkan banyaknya perdebatan ditengah masyarakat. Selain itu, pemerintah juga telah berencana memberlakukan Cukai atas Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Kebijakan ini juga perlu disorot karena jika kedua kebijakan ini diterapkan disaat yang bersamaan tentunya akan berpotensi pada peningkatan beban masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita diabetes di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2021, penderita diabetes di Indonesia mencapai 19,47 juta jiwa, dan angka ini diperkirakan melonjak hingga 28,57 juta pada 2045—kenaikan sebesar 47%. Secara global, menurut World Health Organization (WHO), jumlah penderita diabetes telah mencapai 422 juta orang, meningkat empat kali lipat dibandingkan 30 tahun lalu. Angka-angka ini menjadi alarm serius yang mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan tegas guna mengurangi konsumsi gula berlebih​.
Mengapa Minuman Berpemanis Harus Kena Cukai?
Pajak memiliki fungsi regulerend, yaitu sebagai alat pengendalian yang dalam konteks ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan. Pajak yang diterapkan atas minuman berpemanis ini berbentuk cukai, yang dikenal sebagai Pigovian Tax—sejenis pajak yang dirancang untuk menginternalisasi dampak negatif (eksternalitas) dari konsumsi barang tertentu. Dalam hal ini, konsumsi minuman berpemanis dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung. Dengan adanya pengenaan cukai, diharapkan konsumen terdorong untuk memilih produk yang lebih sehat, sementara produsen diberi insentif untuk mengurangi kadar gula dalam produknya.
Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan besar, khususnya dalam memastikan bahwa perubahan perilaku konsumen terjadi tanpa membebani secara ekonomi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang lebih sensitif terhadap kenaikan harga produk. Upaya ini memerlukan keseimbangan antara tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dan dampak sosial-ekonomi yang dihasilkan.
Rencana Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan
Cukai BMDK dirancang untuk menekan konsumsi gula melalui kenaikan harga jual produk yang mengandung pemanis tambahan. Kebijakan ini akan diterapkan berdasarkan kadar gula per liter dalam produk minuman, termasuk teh dalam kemasan, minuman berkarbonasi, jus, dan minuman berenergi. Pemerintah memperkirakan bahwa penerapan cukai ini tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menurunkan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) yang berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat.
Menurut kajian Kementerian Keuangan, produk dengan kadar gula tinggi akan dikenai tarif lebih tinggi dibandingkan produk dengan kadar gula lebih rendah. Pemerintah juga sedang mempertimbangkan keringanan atau insentif tertentu bagi produsen yang berkomitmen menurunkan kadar gula dalam produknya. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara tujuan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri minuman​ berpemanis.
Kesimpulan
Meski beralasan kuat, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Beberapa pihak menilai kebijakan ini dapat menjadi regresif, membebani masyarakat berpenghasilan rendah lebih dari yang lain. Edukasi kesehatan harus menjadi prioritas untuk memastikan kebijakan ini efektif.
Cukai atas Minuman Berpemanis Dalam Kemasan adalah langkah strategis untuk menekan konsumsi gula dan mengatasi lonjakan penderita diabetes. Namun, keberhasilannya bergantung pada pelaksanaan yang menyeluruh, termasuk pengawasan distribusi, edukasi konsumen, dan penyediaan alternatif sehat yang terjangkau.
Apakah kebijakan ini akan menjadi solusi efektif atau justru menambah beban masyarakat? Jawaban dari pertanyaan ini akan bergantung pada langkah lanjutan yang diambil pemerintah serta kolaborasi seluruh pihak dalam mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat.