Telusur.co.id - Oleh : Jacob Ereste
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) GA/12408 untuk menangkal Islamophobia pada 15 Maret 2022 telah menyadarkan masyarakat dunia bahwa, Islam itu tidak ada yang harus ditakutkan. Islam sendiri jelas mengusung rahmatan lil alamin, yaitu kebahagian untuk seluruh umat manusia di bumi.
Artinya, Islam pun akan sangat memahami terhadap agama yang diyakini oleh umat beragama lain. Karena semua ajaran dan tuntunan agama pasti mengajak untuk berbuat baik.
Apalagi Islam, yang meyakini bahwa manusia yang terbaik dihadapan Allah SWT adalah siapa saja yang bisa memberi manfaat sebanyak mungkin bagi manusia yang lain. Tak kekecualian, misalnya kebaikan itu hanya untuk sesama kaum Muslimin semata.
Islamophobia telah menjadi fenomena global, sehingga PBB merasa perlu untuk membuat resolusi anti Islamophobia, hanya karena melihat perkembangan dari penganut Islam yang sedemikian pesat, sehingga menimbulkan ketakutan yang tidak beralasan, hanya karena Islam akan menjadi suatu kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap segenap aspek kehidupan.
Terutama dalam perspektif politik, sehingga Islam pun dipolitisir sedemikian rupa dengan berbagai stempel negatif. Mulai dari Islam militan, teroris dan sebagainya yang terus dipelihara supaya dapat dijadikan proyek, entah oleh suatu negara atau instansi tertentu yang ada untuk dijadikan sumber penghasilan dari sebuah pekerjaan yang direkayasa itu.
Anti Islamophobia sendiri yang sudah dibuatkan resolusinya oleh PBB, justru tidak mendapat apresiasi yang memadai dari Pemerintah Indonesia yang justru rentan untuk terus dikambing-hitamkan sebagai sumber keributan di dunia maupun di Indonesia sendiri.
Bagi Indonesia, menurut Hidayat Nur Wahid, bukti keseriusan Indonesia perlu dibuktikan dengan membuat UU Anti Islamophobia, agar tidak lagi terjadi perilaku pengekangan bahkan perlawanan dari masyarakat yang dapat menimbulkan pengadilan jalanan yang inkonstitusional dan tidak sesuai dengan semangat resolusi Anti Islamophobia.
Kajian Rancangan UU Anti Islamophobia seperti yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun dari masyarakat kampus, seperti dari Universitas Prof. Hamka. (www.mpr.go.id, 18 Januari 2024). Karena di dunia pun sudah ada UU Anti Semitism yang sudah berlaku di sejumlah negara.
Karena itu wajar bila Indonesia sendiri memiliki UU Anti Islamophobia dan memasukkan tanggal 15 Maret dalam kalender nasional sekaligus menjadikan setiap tanggal tersebut sebagai hari libur nasional.
Beragam bentuk Islamophobia yang terjadi di Indonesia seperti banyaknya Perda (Peraturan Daerah) yang justru dihapus oleh Kementerian Dalam Negeri hanya karena Perda itu berbau Syariah. Padahal, Perda itu telah dibuat dengan mekanisme yang sesuai dengan UU dan tradisi demokrasi (musyawarah) pada tingkat setiap daerah serta melibatkan partisipasi masyarakat setempat.
Perlakuan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini tidak perlu terjadi. Sebab di Bali sudah dilakukan Perda yang khas Hindu, seperti hari Nyepi. Kecuali itu, semangat dari Majelis Umum PBB juga meminta semua negara anggota yang terlibat bersama seluruh pemangku kepentingan untuk terus melakukan sosialisasi dialog antar agama dan antar budaya serta dapat menerima adanya perbedaan sebagai suatu kekayaan budaya.
Jadi jelas tujuan dari anti Islamophobia sebagai upaya memerangi segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial dan xenophobia, stereotip negatif maupun stigma sepatutnya tidak menjadi penghambat upaya untuk motivasi guna menata kerukunan umat beragama sebagai energi pembangkit usaha membangun ikatan persaudaraan antara umat beragama yang sangat beragam di Indonesia.
Karena hanya dengan cara meniadakan rasa kecurigaan, prasangka buruk, rasa ketakutan yang tidak perlu itu, maka kerukunan umat beragama di Indonesia yang sangat beragam akan menjadi energi yang nemiliki nilai tambah untuk membangun dan bangkit bersama dalam tatanan bangsa dan negara Indonesia yang sungguh sangat memerlukan rasa kebersamaan dan persatuan guna memperkuat bingkai negara dalam falsafah luhur yang dimaksud dari Pancasila itu.
Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang digelindingkan sejumlah tokoh nasiobal sejak 20 tahun silam, Gus Dur, Susuhunan Paku Buwono XII, Prof. Dr (HC) KH. Habib Chirzin dan Sri Eko Sriyanto Galgendu.
Beserta organisasi lintas negara dan lintas agama ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan sejumlah tokoh lintas agama lainnya, seperti Djohan Effendi itu, beranjak dari pemikiran untuk memperjuangkan kebebasan beragama.
Tentu saja kebebasan beragama itu tidak juga hanya untuk kaum minoriras semata, tetapi bagi seluruh umat beragama, utamanya di Indonesia yang sangat beragam dan plural.
Yang agak aneh, resolusi PBB tentang Anti Islamophobia itu tidak juga mendapat respons yang antusias dari umat Islam di Indonesia yang justru lebih dominan mendapat tekanan secara politik dengan stigma sumber teroris.
Meskipun teroris itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak cuma oleh umat Islam, tapi juga dapat dikakukan oleh pihak lain, seperti instansi pemerintah atau pihak swasta dalam bentuk menebar rasa ketakutan pada masyarakat umum seperti wabah penyakit secara berlebih-lebihan.
Atau bahkan, pembiaran terhadap tindak pidana korupsi yang dibiarkan terus beranak pinak, untuk kemudian dijadikan sandra politik seperti yang sangat fenomenal pada pemilu 2024 di Indonesia.
Teror dalam bentuk lain pun seperti insinuasi atau tuduhan tersembunyi yang sempat menjadi sangat viral menjelang pesta demokrasi 2024 yang gaduh dan kacau itu, bahwa bagi yang kalah maka harus bersiap-siap nanti akan masuk penjara.
Demikian juga dengan perlakuan negara tertentu terhadap warga negara Indonesia yang dilarang masuk atau mendapat perlakuan yang tidak elok hanya karena memakai nama yang khas Islam, atau beridentitas Islam, baik dalam penampilan tubuh maupun karena kostum yang digunakannya.
Perlakuan diskriminasi yang berlebihan serupa ini, justru dapat menimbulkan sikap militan dari orang yang bersangkutan. Akibatnya, rasa sintimental yang sangat personal sifatnya itu jadi tersulut, karena ketersinggungan yang tidak perlu dan tidak sepatutnya terjadi.
Agaknya, inilah yang mendasari perkumpulan Aspirasi Emak-emak Indonesia yang dibesut Bunda Wati Imhar Salam Burhanudin gigih menggaungkan agar momentum penting resolusi PBB pada 15 Maret 2022 itu masuk dalam kalender nasional dan hari libur nasional bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena, toh resolusi PBB itu telah berlaku dalam skala dunia internasional pula.
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.