telusur.co.id - Bencana alam banjir dan tanah longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera menyisakan dampak serius pada sektor pendidikan, dengan catatan kerusakan berat mencapai 1.009 sekolah.
Merespons kondisi krisis ini, Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Abdul Fikri Faqih, mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk segera mengambil langkah darurat guna memastikan hak pendidikan anak-anak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tetap terpenuhi.
Legislator dari daerah pemilihan (dapil) IX Jawa Tengah (Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes) itu menegaskan bahwa pemulihan fasilitas pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam penanganan pascabencana.
Menurutnya, menyelamatkan tempat belajar sama artinya dengan menyelamatkan kelangsungan masa depan generasi muda yang terdampak musibah.
“Ketika ada bencana alam seperti ini, kita harus selamatkan lebih dulu tempat-tempat belajar, karena pendidikan itu menyiapkan masa depan anak-anak kita,”kata Fikri di Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Fikri menyadari bahwa revitalisasi seribu lebih sekolah yang rusak membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak mungkin sepenuhnya terakomodasi oleh anggaran reguler Kemendikdasmen.
Oleh karena itu, ia mendorong kementerian terkait untuk segera berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) guna mengakses dana on call atau Dana Siap Pakai (DSP) untuk penanggulangan bencana.
“Biaya yang dibutuhkan sangat besar, anggaran di Kemendikdasmen tidak cukup maka Kemendikdasmen perlu berkoordinasi dengan BNPB untuk mengantisipasi hal ini, di sana ada anggaran recalling bencana,”tandas legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Selain masalah pendanaan, Fikri menekankan pentingnya sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan tiga pemerintah daerah terdampak, termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.
Fikri lantas mendorong penyediaan fasilitas sekolah darurat sesegera mungkin, namun dengan catatan harus memperhatikan kondisi psikologis siswa.
Dia juga mengingatkan bahwa sebelum memulai proses belajar mengajar, asesmen terhadap trauma siswa harus dilakukan terlebih dahulu.
“Kami juga mendorong Kemendikdasmen untuk menyiapkan fasilitas sekolah darurat bagi anak-anak yang terdampak bencana dengan catatan sudah dipastikan tidak mengalami trauma. Apabila mengalami trauma, maka perlu dilakukan upaya _trauma healing_,”imbuhnya.
Guna memaksimalkan pemulihan psikologis siswa, Fikri menyarankan pendekatan lintas sektoral yang terintegrasi.
Kemendikdasmen diminta menggandeng Kementerian Sosial (Kemensos) serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk menerapkan metode trauma healing yang efektif, salah satunya melalui pembelajaran yang menyenangkan di sekolah-sekolah darurat.
Sebagai alternatif metode pembelajaran di tengah keterbatasan infrastruktur, Fikri menyarankan penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Namun, mengingat jaringan internet dan fasilitas penunjang di lokasi bencana kemungkinan besar lumpuh, pemerintah diminta proaktif menyediakan modul fisik yang relevan bagi siswa.
“PJJ ini bisa menjadi solusi sementara. Mengingat belum ada fasilitas internet yang memadai, pemerintah perlu menyiapkan modul-modul belajar yang relevan,” ujar Fikri.
Lebih lanjut, Fikri mengungkapkan bahwa DPR RI saat ini tengah serius membahas mitigasi pendidikan dalam situasi darurat melalui Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Langkah ini diambil mengingat posisi geografis Indonesia yang berada di kawasan cincin api (_ring of fire_), sehingga sistem pendidikan nasional harus adaptif dan tangguh menghadapi potensi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Salah satu yang dibahas dalam RUU Sisdiknas ini adalah pendidikan di saat bencana, karena kita berada di _ring of fire_ dan pengalaman bencana yang selalu muncul,”pungkas alumni program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro (UNDIP) ini. [ham]



