Ruang Hidup - Telusur

Ruang Hidup


Oleh: Suroto

 

"Dinnn!!!...dinnn!!!!...dinnnn....!!!! demikian bunyi beruntun klakson mobil Alphard yang sangat keras itu. 

"Bangsat kamu! Kenapa kamu parkir mobil seenak perutmu sendiri??!" untung belum gue tabrak itu motor butut elo!", hardik laki-laki bertampang klimis dengan potongan cepak semi militer dari balik mobil Alphard mewahnya itu. 

"Iya pak, maaf pak..iya..maafkan saya pak....", jawab laki-laki kurus jangkung yang kaget mendengar suara klakson itu sembari menggeser motornya. 

"Maaf-maaf! gue gablok baru tahu loe!!", hardik laki-laki itu lagi. 

Ketika klakson itu meraung, laki-laki itu tadi sedang makan sup bersama ku di warung tenda jalanan ini. Dia terlihat sangat ketakutan dan itu tersirat dari wajahnya yang kuyu dengan dahi hitamnya yang penuh kerutan menebal yang seakan gambarkan beban berat hidupnya. 

Saya lirik isi mobil itu ketika pintunya terbuka. Aku pastikan bukan sopir mobil itu. Kalau bukan bosnya mungkin ajudannya. Atau apa siapa saja. Barangkali, gedibal bossnya. Tidak penting. 

Itulah bunyi kekerasan yang aku lihat dan aku dengar setelah seharian hanya berkutat di kamar sempit flat ku. Seperti malam-malam sebelumnya, aku selalu keluar untuk mencari makan di pinggir-pinggir jalan. Mengisi perut ala kadarnya. 

Di luar bunyi-bunyi kekerasan tadi, aku juga lihat ada yang berbeda dari deretan warung tenda depan flat ku. Ada yang jual martabak, kebab, ayam goreng, sup, sate, bakso, dan lain-lain. 

Warung-warung tenda itu terlihat bertambah banyak saja. Kondisinya, masing-masing sepi. Mungkin karena gerimis. Tapi bisa jadi juga karena daya beli rakyat sedang memburuk, akibat krisis ekonomi di masa pandemi. Mereka mungkin mengirit makan malam dengan nasi garam dan sayur bening buatan sendiri di rumahnya saja. 

Dari deretan warung tenda itu juga aku lihat ada yang jualan ayam goreng baru. Betapa sebelahnya juga terlihat jualan ayam goreng yang sama. Wajah penjual ayam goreng yang baru terlihat cuek dengan penjual ayam goreng sebelahnya. Mereka terlihat riil sedang "perang dingin". Dalam hati si penjual ayam goreng yang baru mungkin bilang "peduli amat!, ini Jakarta, siapa yang mau berikanku makan kalau tak jualan seperti ini". 

Aku tahu, mereka yang jualan itu juga sebetulnya bukan pemilik dari warung-warung tenda itu. Tapi, mereka itu ternyata kebanyakan ya hanya pekerja. Mereka rata-rata punya bos. Hanya sedikit yang dikelola sendiri. Juragan atau majikan yang menyuruhnya jualan. Mereka digaji saja. Berapapun omsetnya, gajinya sama. Tentu di bawah Upah Minimum Jakarta. 

Warung-warung itu juga sering aku lihat disambangi oleh rentenir. Para pekerja itu ternyata juga korban rentenir harian yang mencekik.  Pinjam 100 ribu bayar harian dengan bunga mencekik hingga 30 persen. Pinjaman 100 ribu terima uang 90 ribu dan angsur hingga 120 ribu baru lunas. 

Mengambil untuk kebutuhan beli pulsa buat WA-an dengan pacar atau istri atau suaminya di kampung Tasik, Grobokan, Madura, Banyumas dan lain-lain. 

Mereka memang bukan orang dari kampung ini. Orang-orang Betawi jarang yang jualan, tapi biasanya mereka memilih jadi satpam, atau sopir. Mereka hidupnya juga lebih baik karena masih punya kamar kos-kosan yang berupa petak-petak sempit.  Dan para pengekosnya adalah buruh proletar dari daerah-daerah itu.  

Jakarta ini memang begitu padat dan berisik. Bunyi Toa Mesjidnya juga lebih banyak. Orang menegang begitu senggolan di jalan. Di daerahku ini, bahkan sering terjadi tawuran jalanan dari anak-anak muda yang perebutkan kapling ogah "puteran mobil". 

Bahkan, sering tawuran sampai meregang nyawa dan beberapa terkena bacokan clurit panjang di dada, di kepala, di punggung. 

Ruang-ruang hidup rakyat di bawah ini telihat begitu berdarah-darah. Mereka sudah tak peduli lagi dengan hidup orang lain. Berebut peluang dan berebut sesuap nasi dan nyawa pun mereka pertaruhkan. 

Sembari menyelesaikan sup tetelan tulang-tulang sapi ini, aku merenung. Betapa beratnya hidup rakyat kecil di bawah. Mereka kadang membuat hatiku bergetar dan getir. 

Betapa tidak, para elit penguasa dan konglomerat di atas, hidup penuh kemewahan dan mereka merampok uang rakyat begitu mudahnya dengan hanya lakukan kongkalikong dan memainkan teken. Sementara rakyat di bawah ruang hidupnya terus dirambah dan dikeruk dan diperas. 

Mereka asik merampok uang rakyat di tengah pandemi dengan istilah-istilah yang sulit mereka mengerti, seperti Dana Penempatan, Modal Penyertaan, Write off,  Holding Ultra Mikro, Domestic Price Obligation, dan lain lain. 

Tak hanya itu, tapi ruang-ruang hidup rakyat yang sempit dan jadi sumber penghasilan mereka dengan ketrampilam dan mod terbatas dengan  jualan kebutuhan hidup sehari-hari seperti jualan mie, kopi dan teh pun mereka rampas dengan menjamurnya cafe-cafe lux yang tak lagi perhitungkan untung rugi. Karena mereka sekedar melakukannya demi hobi. 

Agrrhhh....!!!


Tinggalkan Komentar