Sang Pujangga Sapardi Djoko Damono Telah Berpulang - Telusur

Sang Pujangga Sapardi Djoko Damono Telah Berpulang

Sapardi Djoko Damono/Thomas Rizal

telusur.co.id - Dunia sastra tanah air kembali berduka. Salah satu penyair terbaik yang karyanya dikenal sederhana namun penuh makna kehidupan, Sapardi Djoko Damono wafat pada Minggu (19/7/2020).

Seperti diberitakan Antara, Sapardi menghembuskan nafas terakhir pada usianya yang ke-80 tahun di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, sekitar pukul 09:17 WIB. Sapardi sudah dirawat di rumah sakit sejak Kamis (9/7/2020) karena menurunnya fungsi organ tubuh.

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Sapardi adalah seorang penyair, dosen, pengamat sastra, kritikus sastra serta pakar sastra.

Pujangga bergelar profesor ini sudah aktif menulis sejak duduk di bangku SMP. Beliau menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis berkembang saat dirinya menempuh kuliah di jurusan Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sapardi menulis puisi sejak duduk di bangku SMA pada 1957. Buku puisi pertamanya bertajuk "Duka-Mu Abadi" diterbitkan 12 tahun kemudian.

Bukan hanya puisi, pria yang kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD ini juga juga banyak menulis cerita pendek, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar. Sapardi juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing.

Beberapa puisinya sangat populer saat ini di antaranya adalah "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga" dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari".

Puisi Sapardi, meski sarat simbolisme namun sajak-sajaknya sederhana. Pilihan kata dan tema yang mudah dipahami pembaca, sudah menjadi ciri khas sang pujangga.

"Setiap penulis caranya berbeda-beda. Misalnya Anda wartawan, peristiwanya sama tapi beritanya bisa berbeda-beda. Sastra apalagi, itu terkait caranya menulis," ujar Sapardi saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku "Perjamuan Khong Guan" karya Joko Pinurbo di kawasan Matraman, Jakarta, 26 Januari lalu.

"Keajaiban puisi itu multi interpretasi. Tulisan mengajarkan kita kebebasan tafsir," kata pria yang akrab disapa Eyang oleh para penggemarnya ini.

Sapardi menulis puisi sejak tahun 1957, pertama kali menerbitkan "Duka-Mu" (1969) yang diikuti dua kumpulan sajak tipis pada 1974, "Mata Pisau" dan "Akuarium". "Perahu Kertas" dan "Sihir Hujan" masing-masing mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan Anugerah Puisi Putera, Malaysia pada 1983.

Selain puisi, Sapardi juga menulis cerpen dan novel seperti "Membunuh Orang Gila", "Trilogi Soekram", dan "Hujan Bulan Juni". Buku-buku esainya yang mutakhir adalah "Tirani Demokrasi", "Slamet Rahardjo", "Sebuah Esai, Mengapa Ksatria Memerlukan Punakawan?", serta "Alih Wahana".

Sejumlah penghargaan pernah diterimanya baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya adalah Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putera (Malaysia, 1984), dan SEA-WRITE Award (Thailand, 1988), Khatulistiwa Literary Award (2004).

Beberapa karya Sapardi sendiri telah mengalami proses alih wahana ke seni-seni lainnya. Misalnya puisi "Aku Ingin" yang dimusikalisasi oleh Ags Arya Dipayana dan "Hujan Bulan Juni" oleh Umar Muslim. Bahkan "Hujan Bulan Juni" juga telah diadaptasi menjadi sebuah film di tahun 2017.

Sapardi mengaku tidak mempersoalkan proses alih wahana itu. Malahan, dirinya mengaku hal itu sangat baik untuk para sastrawan agar karya-karya mereka terus dikenang dan dikenal pembaca di generasi berikutnya.

"Saya justru terima kasih dengan yang sudah membuat puisi saya menjadi lagu. Itu sangat membantu kita karena seorang sastrawan hanya akan dikenang melalui karyanya. Jadi keberhasilan penyair itu bukan soal banyaknya meluncurkan buku, tetapi sebagaimana karyanya terus dikenang," kata Sapardi menjelaskan.

Kini sang pujangga telah berpulang. Namun karyanya akan selalu abadi. Selampergiat jalan, Eyang. [Thomas Rizal]


Tinggalkan Komentar