Seruan Moral DGP dan Pembumian Ajaran Rasul Paulus di Bumi Papua - Telusur

Seruan Moral DGP dan Pembumian Ajaran Rasul Paulus di Bumi Papua


Oleh: Lukas Aksana*

PERNYATAAN Dewan Gereja Papua (West Papua Church Council), selanjutnya disebut DGP, yang disampaikan oleh Pdt Socratez S Yoman, Pdt. Benny Giay dan Pdt. Andrikus Mofu pada tanggal 21 Maret 2022 menurut hemat saya tidaklah pantas disebut sebagai seruan moral. Karena moral atau moralitas sendiri secara etimologi diadopsi dari bahasa latin mos (jamaknya mores) atau dalam bahsa Yunani biasa disebut etos yang berisi standar prilaku yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara kooperatif dalam satu kelompok.

Sehingga, bisa dikatakan seruan moral adalah seruan yang mengajak pada persatuan, harmonisme, saling asih dan memperkuat kohesifitas dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.  

Selain tidak tepat disebut sebagai seruan moral, pernyataan DGP yang sarat dengan nada fitnah pada pemerintah, menguatkan fanatisme kesukuan, rasisme, serta menabur bibit-bibit konflik vertikal dan horisontal juga bertentangan dengan firman-firman Tuhan. Sebagai seorang gembala; DGP yang sejatinya mewakili Tuhan demi mengajar Domba-domba Baik, sudah sangat jauh dari prinsip firman juga sangat sumir dari nilai-nilai ke-Kristenan.

DGP Bertentangan dengan Ajaran Kristus

Apabila DGP dikaitkan dengan ajaran Rasul Paulus (3– 67 M) yang diakui sebagai tokoh penting dalam penyebaran dan perumusan ajaran ke-Kristenan yang bersumber pada ajaran Yesus Kristus, DGP sudah sangat jauh menyimpang. Hal itu tercermin pada surat-surat yang ia tuliskan serta ajaran-ajaran kasih yang ia sampaikan. Dalam konteks masalah kebangsaan, kita dapat melihat bagaimana Rasul Paulus menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan rasialisme, penindasan dan kelaliman yang dilakukan oleh pemerintahan Roma. 

Sebagaimana tercermin dalam surat Rasul Paulus, Roma 13:1-7, Rasul Paulus mengatakan bahwa tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya.

Dari pernyataan Rasul Paulus di atas, kita bisa membaca bahwa sikap-sikap DGP yang senantiasa berusaha menyulut konflik, permusuhan dan perlawanan (baca: pemberontakan) pada pemerintah yang selama ini telah berusaha untuk menjaga keamanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, merupakan bentuk perlawanan yang jelas yang dilakukan oleh DGP pada ajaran-ajaran Rasul Paulus dan merupakan bentuk pengingkaran pada ketentuan-ketentuan Tuhan. 
 
Bahkan, andaipun ada penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Papua, Rasul Paulus tidak mengajarkan kita semua untuk membalasnya dengan perbuatan jahat yang serupa. 

Mukjizat Rasul Paulus tercermin dalam konsili Nicea 325 M yang menggambarkan kondisi pemerintahan Roma yang lalim dan menindas untuk kemudian menjadi orang-orang percaya. 

Konsili yang melibatkan hampir semua keusukupan itu telah membuktikan bahwa kasih adalah solusi terbaik orang-orang yang percaya. 

Di sini jelas tergambar bagaimana pertentangan semua narasi para tokoh DGP yang cenderung memecah-belah serta memicu konflik yang berakibat rusaknya tatanan sosial, pertikaian dan peperangan yang tidak perlu antara sesama anak bangsa yang berakibat distabilitas wilayah yang berakibat pada penambahan jumlah pengungsi.

Padahal pada waktu yang bersamaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah Roma dan tidak melakukan hal-hal yang dilakukan oleh pemerintahan Roma. Dalam Efesus 4: 31-32 dikatakan,

“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Alhasil, seruan moral DGP sejatinya dijadikan sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, menguatkan nilai-nilai persatuan serta persaudaraan, menjaga martabat kemanusiaan dan membangun fondasi kehidupan masyarakat agar makin harmonis.

Namun sayang, seruan moral DGP yang dimulai dengan firman-firman Yesus yang menyejukkan dipakai hanya untuk mengejar kepentingan politik sesaat, tanpa memedulikan akibatnya; mengorbankan para domba-domba yang digembalakan atas nama memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan, menimbulkan perpecahan sesama anak bangsa. Dan lebih ironis lagi seruan moral DGP makin memperburuk kondisi sosial dan keamanan di Papua! Dan menjadikan DGP sebagai organisasi yang makin menjauhkan Jemaat dari pembumian keindahan dan kesejukan ajaran Rasul Paulus. Shalom~shalom, imanuel! Semoga Tuhan sayang sio semua. 

*) Penulis adalah Director Of Religion and Peace Building, Papua


Tinggalkan Komentar