Oleh: Ahmad Sururi Mursjid
(Penulis Lepas yang berangan-angan menjadi novelis)
KETIKA sobat saya, Dr. Ir. Sabar Sitanggang mengirimi saya buku karya E. Saifuddin Anshari, Kritik atas Faham dan gerakan Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid (bulan Sabit, Bandung, 1973), ingatan saya tetiba terbang ke sebuah peristiwa pada tahun 1979 yang dialami seorang pemuda culun yang baru jatuh cinta kepada seorang gadis.
Meskipun pada bulan Puasa 1979 itu si pemuda culun sudah "menembak" gadis idamannya, dan menurut perasaanya "tembakannya diterima oleh si gadis pendiam berlesung di kiri dan kanan pipinya yang dia taksir berat, tetapi si culun itu masih belum yakin benar.
Itu sebabnya, sepulang dari libur lebaran 1979 di kota T, dia nekad mampir ke rumah di gadis pendiam di kota RC.
Lantaran belum pernah ke kota RC, pemuda culun itu tersuruk-suruk mencari rumah gadis yang sangat dia harapkan akan menjadi istri di kelak kemudian hari
Itu sebabnya, jelang magrib pemuda culun itu baru tiba di rumah "calon mertuanya.
Sesudah dia beruluk salam, seorang lelaki agak sepuh membukakan pintu seraya menjawab salam dan bertanya penuh selidik: "Mau bertemu siapa?"
"Mau bertemu Akmal," jawab si culun sesudah sejenak menenangkan diri
"Saudara siapa?," tanya lelaki itu, tetap dalam nada belum ramah.
"Saya temannya Akmal "
"Ada keperluan apa dengan putri saya?"
"Saya mau ajak Akmal pulang bersama-sama ke Yogya," si culun mulai bisa bicara agak panjang.
"Ayo, masuk dulu," akhirnya sikap ramah bapak agak sepuh itu keluar juga.
"Akmal sudah berangkat kemarin sore. Silakan duduk."
Segera sesudah si culun duduk, sang bapak yang oleh si culun diduga sebagai ayah Akmal, gadis anggun yang sedang dia taksir, berteriak: 'Ibu, ambilkan minum, ada tamu."
Tidak lama kemudian, seorang Ibu datang membawa minuman dan juadah."
"Ini temannya Akmal," calon mertua mengenalkan si culun kepada istrinya. 'Lho? Akmal sudah berangkat kemarin sore. Nggak janjian toh?"
Mendengar ucapan calon ibu mertua yang sangat ramah dan bersahabat, hati si culun menjadi tenang.
Ibu tidak lama berada di ruang tamu. Beliau segera pamit seraya mencium tangan suaminya. Melihat adegan cium tangan itu, si culun terpesona. "Keluarga sakinah seperti inilah yang kelak akan aku bangun bersama Akmal," ujar si culun di dalam hati.
"Ibu pergi dulu, Pak."
"Mau ke depan sebentar.
"Ya. Hati-hati."
Setelah Ibu pergi, lelaki agak sepuh itu kembali fokus kepada tamunya. " Saudara mengenal putri saya, di mana?"
"Di kampus, Pak," jawab si culun.
"Apa kalian satu kelas, satu angkatan, atau satu jurusan?"
Semua pertanyaan itu dijawab: 'tidak,' oleh si culun. Kami satu fakultas.
"Mahasiswa di satu fakultas itu jumlahnya ratusan. Bagaimana Saudara bisa akrab dengan putri saya?" Penyelidikan "calon mertua' upanya belum selesai. "Apakah ada sarana lain yang menyebabkan Saudara akrab dengan Akmal'"
Si culun menjawab dengan lugu. "Kami sama-sama aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
,"Oh, begitu," respon "calon mertua".
"Saudara kenal dengan Drs. Nurcholish Madjid?," tetiba Pak Calon Mertua bertanya, seakan mengalihkan pertanyaan.
"Tahu, tapi tidak kenal," si culun menjawab apa adanya.
"Apa pendapat Saudara tentang faham sekularisme yang dikembangkan oleh Nurcholish?"
Si Culun kaget. Gelagapan dia menjawab pertanyaan itu.
"Sebagai anggota baru, saya belum mendalami pikiran Nurcholish Madjid."
"Baik," ujar Pak Calon Mertua lagi."Sekarang jawab ya atau tidak."
'"Setujukah Saudara dengan faham sekularisme yang ditawarkan oleh Nurcholish
Agar pembicaraan cepat selesai, si culun menjawab lugas: "tidak."
Bersamaan dengan jawaban itu, terdengar kumandang azan. Si Culun pamit untuk menegakkan shalat.
Pak Calon Mertua terlihat senang.
"Silakan. Saudara mau shalat di rumah bersama saya atau shalat di masjid?"
Si Culun cepat menjawab: "Di masjid, Pak." Wajah calon mertua terlihat makin sumringah.
Si Culun memilih shalat di masjid untuk menghindari peristiwa ketika dia bertamu ke rumah seorang tokoh. Ketika tiba waktu shalat, si Culun diminta mengimami tokoh itu.
Si Culun tidak bisa membayangkan dirinya menjadi imam bagi orang yang diharapkan menjadi mertuanya.'
SEUSAI shalat, calon mertua masih melanjutkan obrolan. Kali ini tidak lagi bersifat interogatif.
Saya senang Saudara masih mau shalat berjamaah di masjid. Itu artinya, Saudara belum terkena virus sekularisme.
Karena Saudara berteman dengan putri saya, tolong bantu saya menjaga Akmal dari virus sekularisme.
Si Culun pamit, meskipun dia tidak tahu mau pergi ke manakah dia malam itu.
Meskipun calon mertua menawari menginap , dia menolak.
Ternyata, itulah pertemuan pertama dan terakhir si culun dengan bapak agak sepuh itu.
Ketika berbelas tahun kemudian si culun kembali berkunjung ke rumah di kota RC itu, calon mertua sudah tiada. Si culun hanya bertemu dengan ibu, dan keluarga Iif, adik Akmal.
Seraya menyalami si Culun, Ibu memintakan maaf untuk Bapak. Si Culun tidak faham, kesalahan yang mana yang harus dia maafkan. Apakah interogasinya itu?
Entahlah. Si Culun sungguh-sungguh tidak tahu kesalahan apa yang pernah diperbuat oleh ayahanda Akmal kepadanya.[]