Putusan Bawaslu memerintahkan KPU untuk memasukan nama Oesman Sapta dalam Daftar Calon Tetap, merupakan bentuk kepatuhan lembaga tersebut terhadap putusan pengadilan.
Demikian disampaikan Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin kepada telusur.co.id, Senin (14/1/19).
Dalam Putusan PTUN Jakarta, dinyatakan dengan tegas bahwa akibat tidak dimasukannya nama Oesman Sapta dalam DCT oleh KPU, maka Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan DCT dinyatakan batal.
“Ini artinya, semua calon Anggota DPD yang telah ditetapkan oleh KPU melalui Keputusan tertanggal 20 September 2018 itu saat ini tidak lagi memiliki dasar hukum kepesertaannya dalam Pemilu 2019,” kata Said.
Dengan kata lain, Pemilu Anggota DPD akan menjadi cacat hukum jika KPU tidak menerbitkan Keputusan DCT yang baru dengan memasukan nama Oesman Sapta ke dalamnya.
Ini tentu sangat berbahaya sekali bagi penyelenggaraan Pemilu Anggota DPD. Sebab, tanpa penerbitan dasar hukum yang baru berupa Keputusan DCT yang memasukan nama Oesman Sapta, Pemilu 2019 untuk pemilihan calon Anggota DPD menjadi ilegal.
Surat suara calon Anggota DPD menjadi tidak mungkin dicetak. Semua calon Anggota DPD di seluruh Indonesia pun tidak bisa dipilih oleh rakyat, sebab tidak ada lagi landasan hukumnya.
“Dasar hukum kepesertaan calon Anggota DPD dalam Pemilu 2019 adalah Keputusan DCT yang ditetapkan oleh KPU.”
Ketika Pengadilan memerintahkan KPU untuk mencabut Keputusan tersebut, kata dia, itu artinya DCT calon Anggota DPD yang sekarang menjadi sudah tidak sah lagi, sebab sudah dibatalkan oleh pengadilan.
“Nah, soal ini harus dipikirkan masak-masak oleh KPU. Jangan anggap remeh Putusan Bawaslu yang substansinya sama dengan Putusan PTUN Jakarta tersebut,” kata Said.
Selain daripada itu, apabila KPU tidak melaksanakan Putusan Bawaslu, akan muncul kerawanan baru. Sekali saja KPU tidak melaksanakan Putusan Bawaslu, maka ada potensi mereka akan mengulanginya pada kasus yang lain.
Padahal, ke depan diperkirakan masih akan banyak perkara lain yang dimohonkan oleh Peserta Pemilu ke lembaga Bawaslu.
Kalau pada kasus Oesman Sapta ini KPU menihilkan Putusan Bawaslu, kata Said, maka tidak mustahil mereka akan melakukannya lagi pada perkara lain yang diputus oleh Bawaslu atas permohonan Peserta Pemilu yang lain.
Kalau itu sampai terjadi, maka hilang sudah kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Disinilah dikatakan KPU tidak boleh sekali-kali menegasikan Putusan Bawaslu.
“Putusan Bawaslu itu adalah Putusan lembaga Penyelenggara Pemilu. Dalam Undang Undang Pemilu ditentukan bahwa KPU bukan satu-satunya lembaga pemutus Pemilu,” kata dia.
Selain KPU, ada Bawaslu yang kedudukannya sejajar dengannya dan juga memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu keputusan hukum Pemilu.
Terkait perkara Oesman Sapta, cukuplah rakyat tahu apa yang menjadi sikap KPU. Keteguhan KPU untuk tetap meminta Oesman Sapta menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus parpol sudah tercatat di benak publik.
Itu sudah cukup bagi KPU untuk menunjukan pandangannya. Selebihnya, mereka laksanakan saja putusan hukum dari lembaga lain yang bersifat final dan mengikat, yaitu Putusan PTUN Jakarta Putusan Bawaslu.
Jangan sampai, kata Said, hanya karena ingin menunjukan keteguhannya pada kasus Oesman Sapta, KPU justru menciptakan preseden buruk dengan mengabaikan Putusan Bawaslu.
Apalagi, kalau sampai membiarkan seluruh calon Anggota DPD kehilangan dasar hukum pencalonan mereka. Ini kesalahan yang amat fatal. [ipk]