telusur.co.id -SURABAYA - Dinamika bisnis modern dituntut serba cepat dan adaptif, menyebabkan korporasi kerap terpaku pada pengalaman masa lalu dan sulit berubah. Jika dibiarkan, hal ini menjadi bias kognitif yang kerap tak disadari.
Untuk itu, Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Keuangan Keperilakuan FEB UNAIR Prof Dr Fitri Ismiyanti SE MSi menyoroti bias yang paling berisiko yaitu overconfidence atau keyakinan berlebihan dan inersia. Hal ini mengemuka melalui orasi ilmiahnya pada Kamis (23/5/2025), di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR.
Faktor Psikologis Korporasi
Melalui pidatonya, Prof Fitri mengkaji faktor psikologis yang membawa dampak negatif bagi perusahaan. “Faktor yang seringkali mempengaruhi keputusan strategis adalah denial dan hubris dari pihak pengambil keputusan,” paparnya. Faktor penolakan dan kesombongan, menurutnya akan menimbulkan keputusan yang tidak realistis.
Lebih lanjut, faktor lain seperti overconfidence terhadap risiko seperti mengabaikan variabel eksternal, hingga menolak kritik internal. “Overconfidence membuat pengambil keputusan merasa superior dan menutup diri dari masukan atau data. Sementara inersia seperti mengurung perusahaan dalam zona nyaman,” ujarnya.
Prof Fitri menilai, inersia bukan hanya masalah operasional, tetapi refleksi dari ketidakmampuan perusahaan untuk beradaptasi membaca dinamika dan risiko eksternal. Faktanya, kelincahan menjadi nilai utama yang menentukan daya saing.
“Fenomena ini merujuk pada lambannya transisi sektor ritel konvensional ke platform digital. Ketika mulai berubah, kompetitor baru sudah jauh di depan,”terangnya.
Strategis Mengelola Bias
Mengatasi bias overconfidence dan inersia membutuhkan strategi bersifat sistemik dan berbasis budaya organisasi. Beberapa pendekatannya yaitu melibatkan pihak dengan latar belakang yang berbeda, mengintegrasi data dan analitik secara menyeluruh, membangun ruang dialog terbuka, serta melakukan refleksi dan evaluasi menggunakan Post Mortem.
“Pemimpin yang bijak bukan hanya percaya diri, tapi juga siap menerima kritik dan terbuka. Serta rutin melakukan evaluasi pasca project,”ungkapnya.
Terakhir, Prof Fitri juga mengungkap behavioral finance, yang digunakan sebagai kerangka untuk memahami keputusan keuangan dan investasi yang irasional. Sehingga bias psikologis menjadi variabel penting dalam menyusun strategi bisnis dan tata kelola perusahaan.
“Dengan memahami perilaku manusia di balik angka dan data, korporasi dapat membuat keputusan yang lebih realistis, inklusif, dan tanggap terhadap perubahan,” pungkasnya. (ari)