telusur.co.id - Menjelang berakhirnya masa jabatan DPR, sejumlah RUU sedang dibahas seperti RUU MK, RUU TNI, RUU Polri, RUU Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan RUU Kementerian Negara. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menyoroti fenomena kejar tayang legislasi di DPR.
Guru besar HTN Universitas Jambi Elita Rahmi mengatakan praktik kejar tayang legislasi di DPR harus dihentikan. Menurut dia, sesuatu hal yang terburu-buru tidak menghasilkan hal yang baik.
"Kejar tayang legislasi harus kita setop. Padahal, sarana dan prasarana yang dimiliki DPR sangat lengkap tapi legislasi kerap bermasalah, karena ada komponen yang tidak digunakan dengan baik," ujar Elita dalam webinar yang diselenggarakan APHTN HAN, Senin (15/7/24).
Dia menyebutkan fenomena kejar tayang legislasi disebabkan dua faktor yakni internal dan eksternal. Elita menguraikan faktor internal yang dimaksud di antaranya agenda politik di tahun 2024, rendahnya ketaatan waktu pembahasan UU di DPR, konflik kepentingan partai politik dan pemerintahan. "Sedangkan faktor eksternal dibutuhkan keselarasan kerja antara DPR, pemerintah, DPD, dan masyarakat," tegas Elita.
Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Lampung Prof. Rudy mengatakan realisasi Prolegnas selama 20 tahun terakhir mengalami stagnasi. Dia menyebutkan realisasi Prolegnas di angka 30-40 % dari target Prolegnas.
"Seperti Prolegnas Prioritas tahun 2014 sebanyak 69, hanya mampu direalisasi 21 UU. Artinya, ini bukan kejar tayang, tapi agenda rutin yang dilakukan oleh DPR," cetus Rudi.
Dia menilai fenomena kejar tayang muncul lantaran tidak ada pola dalam penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Di sisi yang lain, terdapat fenomena kompetisi antar kementerian untuk menggolkan UU yang terkait dengan kementerian, termasuk DPR dan DPD.
Dia menyebutkan fenomena kejar tayang legislasi juga karena longgarnya pembentukan UU seperti tidak adanya kewajiban menyelesaikan UU dalam satu tahun. Di samping itu, Rudi juga menyebutkan perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membolehkan RUU Luncuran (carry over) bila tidak tuntas dibahas di DPR periode sedang berjalan dapat dilanjutkan di DPR periode selanjutnya.
Sementara pengajar HTN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Ferdian Andi mengatakan legislasi kejar tayang tidak selalu berada di akhir masa jabatan DPR, namun juga di tengah masa jabatan.
"Seperti UU MK pada tahun 2020 dibahas hanya 7 hari, UU KPK pada tahun 2019 dibahas hanya 13 hari, UU IKN pada tahun 2021 dibahas 43 hari," ujar Ferdian.
Ferdian tidak menampik tren peningkatan pengesahan UU di tahun terakhir masa jabatan DPR dan Presiden. Dia menguraikan pada tahun 1999 55 UU dari total 67 UU DPR periode 1998-1999, tahun 2004 sebanyak 39 UU dari total 159 UU DPR periode 1999-2004, tahun 2009 sebanyak 52 UU dari total 167 UU DPR periode 2004-2009, tahun 2014 sebanyak 42 UU dari total 125 UU DPR periode 2009-2014, tahun 2019 sebanyak 24 UU dari total 84 UU DPR periode 2014-2019, dan 2024 saat ini sebanyak 31 UU per pertengahan Juli ini.
"Tren ini konsisten per lima tahun terjadi," cetusnya.
Hanya saja, Ferdian menyebutkan ada sisi plus dan minus kejar tayang legislasi di DPR. Dengan kata lain, tak selamanya produk legislasi kejar tayang menghasilkan UU buruk.
"Karena itu perlu dikelola dengan baik salah satunya perlu ditimbang prosedur Fast Track Legislation dengan memasukkan sebagai prosedur pembentukan UU dengan kualifikasi yang rigid tanpa mengabaikan prinsip dasar negara hukum," ujar Ferdian mengingatkan.
APHTN HAN secara berkala menggelar diskusi baik luring maupun daring atas isu-isu ketatanegaraan yang sedang hanya diperbincangkan. APHTN HAN merupakan asosiasi profesional dari kalangan pengajar HTN HAN di lingkungan Fakultas Hukum di perguruan tinggi di Indonesia. [Tp]