Dewan Da’wah Tolak Tolak RUU HIP Karena Diduga Mirip GBHN Orde Baru - Telusur

Dewan Da’wah Tolak Tolak RUU HIP Karena Diduga Mirip GBHN Orde Baru

Ketua Umum, Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Drs. Mohammad Siddik

telusur.co.id - Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, termasuk dari Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang merasa berkeberatan dengan adanya RUU HIP.

Menurut Ketua Umum Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Drs. Mohammad Siddik, naskah dan materi RUU HIP hampir mirip seperti GBHN pada masa orde baru yang juga berisi norma hukum yang mengarahkan arah pembangunan nasional.

Padahal, GBHN telah dicabut oleh TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 sebagai amanat reformasi karena naskah dan materi muatannya tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini sehingga tidak dapat berfungsi sebagai pemberi arah bagi perjuangan dan pembangunan bangsa dalam mewujudkan cita – citanya seperti yang tertulis pada point (b) pada klausul “Menimbang”.

GBHN telah digantikan oleh produk peraturan perundang undangan yang sudah ada seperti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sisitem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 hingga 2025 yang berisi arah pembangunan nasional.

“Sehingga menghidupkan kembali Undang-undang yang berfungsi seperti layaknya GBHN adalah sebuah langkah mundur bangsa kita dan tumpang tindih dengan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada,” ungkap Siddik dalam keterangan tertulisnya, Sabtu.

Ia juga memandang bahwa UU HIP yang sedang dirancang sekarang adalah produk ulang dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang berusaha dihidupkan kembali karena adanya institusionalisasi dalam membina haluan ideologi Pancasila termasuk didalamnya mengadakan diklat dan pelatihan seperti layaknya pelaksanaan P4 pada masa lalu (Lihat Pasal 39 hingga Pasal 53 RUU HIP).

Pada zaman Orde Baru, kata dia, pelaksanaan P4 sarat dengan tafsiran pengamalan Pancasila versi penguasa pada saat itu dan lebih banyak berfungsi menjadi “tameng” penguasa Orde Baru untuk menjalankan praktek praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sekaligus untuk menjustifikasi tindakan zalim kepada lawan lawan politik rezim orde baru pada saat itu.

Dengan adanya era reformasi pada tahun 1998, akhirnya P4 telah dicabut oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998. Sehingga menghidupkan kembali peraturan perundang-undangan yang mirip dengan P4 pada masa lalu sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi yang telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia.

“Atas dasar sejarah buruk dalam pelaksanaan P4 pada masa lalu, maka kami khawatir UU HIP dilaksanakan seperti pada masa lalu.”

Padahal secara kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) selama ini telah berfungsi sebagai Lembaga yang dapat membina haluan ideologi Pancasila melalui program yang dikenal dengan “Sosialisasi Empat Pilar” sebagaimana bunyi Tata Tertib Majlis Permusyawaratan Rakyat nomor 1 tahun 2014, Pasal 6 (b) yang menyatakan bahwa MPR bertugas untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak dibutuhkan kelembagaan baru dalam hal pembinaan ideologi Pancasila.

Siddik juga memandang bahwa RUU HIP tidak memuat filosofi Pancasila seperti yang telah ditetapkan oleh Founding Fathers pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden tahun 1959. Sehingga Pancasila yang dijadikan objek pada RUU HIP adalah Pancasila yang tidak punya dasar hukum dengan pendirian awal negara Republik Indonesia.

“Kami menilai bahwa tidak ada satupun pasal yang membahas tentang musuh atau ancaman ideologi Pancasila yaitu Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara jelas telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966. Sehingga bagi kami, RUU HIP ini tidak menjiwai dan menghayati luka yang mendalam dari bangsa dan negara Indonesia yaitu terjadinya pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap ideologi Pancasila baik pada tahun 1948 maupun pada tahun 1965.”

Lanjut, Siddik memandang bahwa Tugas MPR RI yang memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sudah cukup untuk menjadi haluan bagi bangsa ini untuk mengarahkan ideologi Pancasila secara benar dan konsekuen. MPR RI merupakan Lembaga Negara yang mewakili kedaulatan Rakyat Indonesia sehingga telah benar benar mencerminkan konfigurasi Suku, Agama, Ras dan Etnis dari seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan demikian, MPR RI dapat memasyarakatkan Pancasila dengan tafsir dan pengamalan yang beragam sesuai dengan  keberagaman Suku, Agama, Ras dan Etnis di Indonesia sebagai antitesa dari UU HIP yang akan membentuk Badan-badan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila sebagai pengarah pembangunan dan politik nasional (RUU HIP Pasal 45) yang sangat beresiko akan terjadinya penyeragaman tafsir dan pengamalan Pancasila sehingga bangsa kita kembali mundur kebelakang ( Set Back ) karena membuka peluang kembalinya bentuk otoritarianisme seperti zaman Orde Baru.

Apalagi Badan-badan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang dibentuk akan menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (Pasal 55 RUU HIP) ditengah kondisi keuangan negara kita yang tidak kondusif dan hutang negara yang terus membengkak.

“Kami memandang terdapat kesalahan logika hukum dalam Bagian Ketiga, Pasal 4 ayat (b) pada RUU HIP dinyatakan bahwa Haluan Ideologi Pancasila bertujuan (b) Sebagai arah bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ayat ini secara tidak langsung menjadikan UU HIP menjadi lebih tinggi kedudukannya daripada Pancasila itu sendiri yang menjadi Ideologi Negara. Karena menurut kami Pancasila justru menjadi dasar, arah sekaligus pedoman bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Oleh sebab itu, berdasarkan point point tersebut, Dewan Da’wah berkeberatan dengan adanya RUU HIP tersebut sehingga tidak ada urgensinya untuk diundangkan. [ham]


Tinggalkan Komentar