Dinilai Bertentangan dengan UU, Seruan  Gubernur DKI Jakarta  No 8 Tahun 2021 Harus Dicabut - Telusur

Dinilai Bertentangan dengan UU, Seruan  Gubernur DKI Jakarta  No 8 Tahun 2021 Harus Dicabut

Sumber foto: istimewa

telusur.co.idSeruan Gubernur DKI Jakarta, No. 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok mendapat tanggapan kurang baik dari berbagai kalangan.


Dalam diskusi yang diadakan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengadakan diskusi virtual dengan tema  “Seruan Gubernur DKI Jakarta, IHT dan Sektor Ritel Makin Sekarat”, Industri Hasil Tembakau (IHT) sepakat mendesak Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut Seruan tersebut.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachyudi mengatakan, jika seruan tersebut dibiarkan, maka akan dapat memperburuk kondisi para pedagang.

Tahk hanya itu saja, Benny juga menjelaskan bahwa Seruan Gubernur ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 yang secara khusus mengatur tentang rokok, termasuk tata cara pemasangan iklan di tempat penjualan.

“IHT bisa makin terpuruk dari hulu ke hilir. Semua terdampak pandemi dari mulai kenaikan cukai hingga sekarang diperparah dengan Seruan Gubernur ini,” ungkap Benny.

Sementara itu, Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Tutum Rahanta menilai langkah seruan Gubernur DKI tersebut dilakukan di waktu yang kurang tepat.

Dimana situasi saat ini perekonomian sedang lesuh akibat wabah pandemi Covid-19  yang masih merebak.

“Ketika kondisi ekonomi masih dalam tahapan recovery, Seruan Gubernur ini justru mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Kami keberatan dan poin utama keberatan kami ialah penjualan rokok ini kan adalah aktivitas legal, yang sah, dan diatur dalam undang-undang. Nah mengapa Seruan Gubernur ini justru seolah-olah bahwa pemajangan tersebut adalah sesuatu yang salah,” tegas Tutum.

Ia menambahkan hal yang lebih mengecewakan  adalah ketika Seruan Gubernur tersebut direalisasikan dalam bentuk penindakan oleh Satpol PP DKI Jakarta.

“Kami tidak mau ketika kami melakukan aktivitas perdagangan diganggu dengan hal-hal demikian. Kami melakukan aktivitas perdagangan dengan benar, tolong didukung. Jika memang ada yang tidak benar, kan bisa dilakukan sosialisasi dahulu,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama, Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Departemen Mini Market, Gunawan Indro Baskoro menilai Seruan Gubernur DKI Jakarta tidak menolong pelaku usaha ritel untuk bangkit dari keterpurukan akibat tekanan pandemi.

“Suka tidak suka, pandemi ini berpengaruh ke bisnis kami. Adanya seruan ini seolah-olah tidak membuat kami untuk bangkit, padahal kami telah menunaikan kewajiban-kewajiban kami, seperti membayar pajak. Kami mohon Seruan ini bisa dicabut biar kami hidup kembali,” jelas.

Gunawan juga menambahkan, para pelaku industri ritel modern termasuk minimarket,, saat ini telah mematuhi ketentuan yang diatur dalam PP No. 109 Tahun 2012.

Selain itu, para pelaku usaha senantiasa melakukan edukasi kepada konsumen.

“Kita mengedukasi, bahwa produk rokok untuk usia 18 tahun ke atas. Kami peritel yang bertanggung jawab. Kami makin sulit dengan adanya seruan ini,” tambahnya.

Dari sisi hukum, Pengamat Hukum Universitas Trisaki Ali Ridho memandang  langkan pemerintah DKI Jakarta itu bentuk anomali policy rule yang berkelanjutan dari penguasa, kreativitas yang keluar dari batas.

“Seruan itu sifat hanya imbauan, tidak lebih dari itu. Oleh karenanya, kalo isinya baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka silahkan diikuti, tapi kalo sebaliknya maka haram hukumnya untuk diikuti,” papar Ali Ridho.

Seharusnya, menurut dia, seruan Gubernur tersebut tidak mengikat karena hal tersebut itu bukan produk hukum yang bersifat mengatur.

Bahkan kedudukan Seruan Gubernur dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 pun tidak diakui.

Dia menambahkan, Seruan Gubernur tersebut tidak hanya tumpang tindih, tapi juga bertentangan dengan PP No 109 Tahun 2012 dan berbagai putusan MK, seperti putusan MK No. 54 Tahun 2008.

“Fakta hukumnya clear, bahwa kata MK regulasi hukum di Indonesia tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan,” tukasnya.[iis]


Tinggalkan Komentar