Oleh : Fuad Bawazier

Ijon atau ngijon adalah bahasa Jawa yang berarti mengambil uang lebih dulu (sebelum waktu yang semestinya). Misalnya, petani yang menjual hasil padinya kepada tengkulak sebelum panen. Atau petambak udang yang menjual udangnya sebelum panen.  Atau pensiunan yang menjual uang pensiunan bulanannya kepada rentenir sebelum uang pensiunnya dibayarkan negara. Tindakan-tindakan ijon begitu tentu merugikan. 

Tetapi itulah yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani meski dibungkus dengan bahasa mentereng dan seakan akan suatu terobosan atau strategi baru. Ketika penerimaan pajak yang  merupakan sumber utama APBN jeblok, untuk menutup defisit yang membengkak, Menkeu menarik utang lebih banyak dari yang dianggarkan dan menyebutnya dengan istilah mentereng front loading strategi yang tak lain adalah ngijon. Begitu pula dibulan Desember biasanya Kemenkeu menarik cukai rokok lebih awal demi menutup defisit APBN ataupun untuk memperkecil shortfall pendapatan negara.

Karena itu biasanya tidak ada penerimaan cukai rokok di bulan Januari tahun berikutnya sebab sudah ditarik lebih awal alias ngijon. Tax Amnesty atau program  pengampunan pajak pada hakekatnya juga ngijon penerimaan pajak. Konon ijon pajak ini akan diulangi lagi melalui Tax Amnesty jilid dua.

Sebaliknya dalam hal pengeluaran uang negara, rasanya pemerintah (baca Menkeu SMI)  juga melakukan “ijon terbalik” yaitu dengan menunda pembayaran subsidi BBM kepada Pertamina dan subsidi listrik kepada PLN serta penundaan pencairan subsidi lainnya. Terus sampai kapankah ekonomi ijon ala SMI ini akan mampu bertahan ? Tentu ada batasnya meski sering kali dibalut dengan berbagai window dressing pembukuan.

Window dressing Laporan Keuangan APBN ini sebenarnya merusak sistem pencatatan yang dianut, cash basis atau accrual basis. Sehingga Laporan yang disajikan diragukan kebenaran atau akurasinya, khususnya dalam hal perhitungan besarnya defisit APBN dan tax ratio. 

Pasar khususnya ekonom yang jeli mulai meragukan kredibilitas data ekonomi dan keuangan yang di publikasikan pemerintah. Termasuk angka pertumbuhan ekonomi publikasi BPS yang diragukan pasar dan ekonom dalam maupun luar negeri. Keraguan para ekonom semakin beralasan ketika hampir semua indikator ekonomi melemah atau menurun tetapi pertumbuhan ekonominya dikatakan tetap stabil atau sama di kisaran 5%. Mungkin  5% ini dianggap batas psikologis atau angka keramat oleh pemerintah. Tetapi sekali lagi, angka 5,02% itu dianggap tidak selaras dengan melemahnya kinerja ekspor, impor, investasi, penerimaan pajak, pertumbuhan kredit, melemahnya manufaktur dan sebagainya.  Sekurang kurangnya kini BPS perlu menguji ulang methodenya agar hasilnya akseptabel dan konsisten dengan angka angka pendukung atau komponen PDB yang lain. 

Penerimaan  pajak yang sampai dengan akhir Oktober 2019 hanya mencapai 64,56% dari anggarannya telah memberikan signal kuat bahwa penerimaan pajak akan tekor antara 200-300 triliun rupiah. Suatu jumlah yang amat signifikan karena bisa berarti diatas 10% APBN. Dan karena itulah Menkeu SMI ngijon utang untuk menambal shortfall penerimaan pajak. Jujur ini adalah suatu kegagalan APBN kalau tidak mau di sebut APBN SMI tidak kredibel. Tidak realistis. Kering terobosan. Hanya mengandalkan utang untuk anggaran yang rutin sekalipun. 

Menteri Keuangan sebelum SMI, Bambang Brojonegoro sebenarnya jujur menyadari bahwa harus ada terobosan  untuk mengangkat pendapatan negara dari pajak yang gagal melulu. Salah satu terobosan yang diajukan Brojonegoro adalah akan melepaskan Direktorat Jenderal Pajak keluar dari Kementerian Keuangan, untuk menjadi badan tersendiri. Sayang gagasan ini tidak di setujui Menkeu SMI meski target pajak dalam rezimnya juga gagal lagi gagal maning. 

Sebaiknya pemerintah membuat APBN yang realistis, yang kredibel dari pada dari waktu ke waktu membuat pembelaan diri dengan bahasa bahasa yang mentereng yang membingungkan rakyat, yang pada hakekatnya adalah untuk membungkus kebohongan dalam suatu penyajian Laporan Ekonomi -Keuangan. Berani jujur itu hebat, kata KPK.