HRS Center Desak DPR Hentikan Pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila - Telusur

HRS Center Desak DPR Hentikan Pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila

Direktur Habib Rizieq Syihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan. (Ist).

telusur.co.id - Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center) menyatakan penolakan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP).

Pernyataan ini disampaikan setelah HRS Center melakukan kajian ilmiah secara intensif dan mendalam. Berbagai permasalahan ditemui baik ditinjau dari aspek filosofis, historis maupun yuridis. 

"Kesemuanya itu sangat terkait dengan masa depan kemandirian, keutuhan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)," kata Direktur HRS Center Abdul Chair Ramadhan dalam keterangan persnya, Jumat (5/6/20).

Menurut HRS Center, RUU-HIP mengandung kesesatan berpikir. Karena RUU-HIP menggunakan nomenklatur ’ideologi’. Padahal sidang BPUPKI menekankan pada dasar filsafat negara (philosofische grondslag). 

"Penyempitan terhadap kedudukan Pancasila sebatas ideologi tidak dapat diterima secara akademis dan tentunya a-historis," ujar Abdul Chair.

Begitu pun penetapan hari lahir Pancasila, melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Abdul Chair mengungkapkan, ternyata ada hubungan sistemik antara Keppres a quo dengan hadirnya RUU-HIP ini. 

Dia menjelaskan, penetapan hari lahir Pancasila yang menunjuk pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dan kemudian menjadi dasar pembentukan RUU-HIP patut dipertanyakan. Selain menegasikan Piagam Jakarta, juga menghilangkan peran Pendiri Negara lainnya yang turut menyampaikan pandangannya. Terlebih lagi pidato Bung Karno tersebut tidak menjadi keputusan BPUPKI.

"Dengan mereduksi kedudukan Pancasila sebatas ideologi berdasarkan penafsiran sepihak, maka akan membuka penafsiran nilai-nilai Pancasila yang menyimpang sebagaimana terjadi pada masa lalu. Penyimpangan dimaksud menunjuk pada kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup (weltanschauung), dasar filsafat negara (philosofische grondslag), maupun norma dasar negara (staatfundamentalnorm)," terangnya. 

Dia menjelaskan, Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dan syarat berlakunya UUD NRI 1945, kini justru hendak dirumuskan dalam undang-undang. Padahal undang-undang harus mengacu kepada konstitusi yang notabene kandungannya berisikan nilai-nilai Pancasila. Pancasila tidak lagi menjadi sumber segala sumber hukum, sebab akan dipositifkan dalam undang-undang sesuai dengan selera penguasa. 

"Pancasila sebagai ’bintang pemandu’ akan tereduksi dengan penafsiran sepihak penguasa. RUU-HIP menyebutkan, 'Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila'. Rumusan demikian, memposisikan Presiden seperti layaknya Pancasila itu sendiri," ungkapnya.

Dia ber0endapat, kesemua permasalahan menunjuk pada substansi RUU-HIP yang membuka peluang masuknya ideologi transanasional. Ideologi dimaksud adalah Sosialis-Komunis dan/atau Liberalis-Kapitalis. Selain itu, ditemui adanya keterhubungan dengan penguatan paham pemikiran keagamaan yang menyimpang seperti, Sekularis, Pluralis, Liberalis (SEPILIS), serta Islam Nusantara.

Selain itu, lanjut dia, RUU-HIP mengandung paham baru “Tritunggal” yang menyesatkan. Tritunggal yang dimaksudkan adalah sintesis terhadap Pancasila, sebagai bentuk baru konsep Trisila yang kemudian terkristalisasi menjadi Ekasila (Gotongroyong). Kami menyebutnya, “Tritunggal KEBUMEN”, singkatan dari “Keadilan Sosial”, “Budaya” dan “Mental”. 

Dia menjelaskan, zesuai dengan penamaannya, paham ini mengintregasikan tiga hal yakni, Material, Tuhan dan Jiwa. Ketiganya merupakan satu kesatuan terintegrasi. Arahnya pun identik sama dengan konsep Trisila. Paham “Tritunggal KEBUMEN” sangat dekat dengan paham/ajaran Sosialisme-Komunisme. 

"Dengan dalih ingin membentuk Masyarakat Pancasila dan Manusia Pancasila, namun mengandung penyesatan tafsir atas Pancasila," sebutnya. 

Pertama, material menunjuk pada Keadilan Sosial. Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila. Ini bermakna, Keadilan Sosial telah dilepaskan dari sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi mendasari, meliputi dan menjiwai sila Keadilan Sosial. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan posisi/mutasi atas sila Pancasila. 

Sila Ketuhanan YME menempati posisi yang paling bawah, sedangkan sila Keadilan Sosial menempati posisi paling atas. Keberadaanya tentu mendasari, meliputi dan menjiwai semua sila di bawahnya, termasuk Ketuhanan YME. Namun tidak demikian halnya dengan Sila Ketuhanan YME. Hal ini secara tidak langsung mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tergantikan dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”.

"Implikasinya, akan memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme-Komunisme (Ateisme) dan/atau Liberalisme-Kapitalisme (Sekularisme)," 

Kedua, budaya menunjuk pada Tuhan. Hal ini didasarkan pada paham “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU-HIP. Paham ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Di sisi lain, agama tidak menjadi dominan dalam Pembangunan Nasional, lebih diarahkan pada mental dan spiritual. 

"Hal ini sejalan dengan Revolusi Mental Jokowi. Jokowi juga pernah mengatakan 'Islam kita adalah Islam Nusantara'. Paham ini berhubungan juga dengan paham SEPILIS," ungkapnya.

Kesemuanya, berkorelasi dengan Teori Receptie Snouck Hurgronje, “Hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sepanjang Hukum Adat menerimanya”. 

"Jadi, Hukum Islam berada di bawah Hukum Adat. Hukum Adat sebagai penentu, bukan dimaksudkan sebaliknya," katanya.

Ketiga, tambah dia, jiwa menunjuk pada mental. Mental menjadi salah satu bidang Pembangunan Nasional, sementara agama (baca: Islam) sebagai subbidang bersama dengan rohani dan kebudayaan. Hal ini bukan saja langkah mundur, namun juga mensejajarkan agama dengan rohani dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. 

Menurut dia, dimasukannya mental itu terkait dengan gagasan Revolusi Mental yang mendahuluinya. Akan tetapi tidak pernah ada penjelasan ilmiah-teoretis dari sang penggagasnya (in casu Presiden Jokowi) dan bahkan berseberangan dengan konsep akhlak dalam Islam. Revolusi Mental sepertinya mengacu pada Teori Kebudayaan. Revolusi Mental berkesesuaian/sejalan dengan Islam Nusantara – melalui Fikih Kebhinekaan – dan paham SEPILIS. Revolusi Mental disinyalir sangat dekat dengan pemikiran Karl Marx dan Revolusi Kebudayaan China (RRT) oleh Mao Zedong.

Tak hanya itu, dia menilai RUU HIP mengandung ‘Potensi’ Membuka ‘Ruang Hidup’ Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Patut diduga RUU-HIP diarahkan untuk kepentingan ‘ruang hidup’ (lebensraum) ideologi Komunis yang terhubung dengan negara penerima manfaat yakni RRT. Patut dicatat Ideologi Komunis saat ini ‘berwajah’ Liberalis. Keberlakuannya menunjuk pada pemanfaatan geografi dan sumber kekayaan alam, termasuk masuknya TKA. Kesemua itu, merupakan bagian geostrategi yang mengandung ancaman nir-militer. 

"Membuka ‘lebensraum’, maka itu berarti sama saja menjerumuskan Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 ke dalam pusaran bahaya," sebutnya. 

Dia mengungkapkan, terdapat sinyalemen pemerintah akan memberlakukan pemaksaan Ideologi Tunggal Pancasila.

Dalam RUU-HIP, disebutkan tentang pembentukan Kemeterian/Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional. Pembentukan ini tentunya sangat terkait dengan misi pembentukan Masyarakat Pancasila-Manusia Pancasila sesuai dengan haluan ideologi Pancasila yang dianut. 

"Pembentukan Kementerian/Badan dimaksud tidak tepat, mengingat Pancasila bukan sebatas ideologi belaka. Terlebih lagi penafsiran secara sepihak penguasa akan menjadikan Pancasila sebagai alat kepentingan kekuasaan," tegasnya. 

Melalui RUU-HIP, terang dia, kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan semakin menguat. Keberlakuannya sebagai pengarah, pembina dan koordinator atas pelaksanaan Haluan Ideologi Pancasila terhadap semua Lembaga Negara (Eksekutif, Legislatif & Yudikatif), termasuk Pemerintahan Daerah. Melihat peranan tugas dan wewenangnya, maka dapat dikatakan kedudukannya sebagai “Dewan Pengarah Negara” dalam rangka optimalisasi “Ideologi Tunggal Pancasila”. 

"Terlebih lagi disebutkan kewenangannya mengarahkan pembangunan dan pembinaan politik nasional yang berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila. Dengan demikian, paham sinstesis 'Tritunggal', akan semakin menguat dan melembaga di semua bidang/sektor pemerintahan," ujarnya.

Karenanya, HRS Center meminta kepada DPR RI untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.

Untuk mendukung penghentian pembahasan RUU-HIP, dengan ini HRS Center merekomendasikan kepada:

- Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat maupun Majelis Ulama Indonesia di berbagai Daerah;

- Ormas-Ormas Islam dan Ormas-Ormas Keagamaan lainnya;

- Perguruan Tinggi, Pondok Pesanteran, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta lembaga lainnya; dan

- Kalangan Intelektual/Akademisi, Tokoh Agama, Aktivis dan lain-lain, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. 

"Kesemuanya tersebut sangat diharapkan untuk menyatakan, penolakan terhadap RUU-HIP dan untuk dihentikan pembahasannya, sesuai dengan penilaian dan pendapat masing-masing," terangnya.

"Kepada DPR RI sangat diharapkan untuk ikut mendorong dihentikannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila," pungkasnya. [Tp]

 


Tinggalkan Komentar