telusur.co.id  -  Presiden Joko Widodo diminta segera mengevaluasi total kebijakan pengelolaan pangan nasional, baik produksi, perdagangan, hingga kebijakan impor pangan.

Begitu disampaikan oleh Kordinator Kelompok Aliansi Stabilkan Harga (ASH) Abdul Syarif Hidayatullah kepada wartawan, Minggu (8/12/19).

"Kebijakan pangan yang buruk jelas merugikan petani, dan bertolak belakang dengan upaya membangun kemandirian pangan," ujar Syarif 

Syarif mengaku prihatin mengetahui adanya 20 ribu ton beras yang akan dibuang akibat penurunan mutu alias busuk. Beras rusak sebanyak itu disebabkan kelamaan disimpan dalam gudang.

Padahal, jika pejabat terkait itu cerdas, Syarif yakin beras kualitas buruk itu bisa diolah, ketimbanh dimusnahkan atau dibuang begitu saja aliaa mubadzir.

"Bisa saja misalnya beras berkualitas buruk itu diolah menjadi pakan ternak. Tapi karena pejabatnya tidak kreatif maka akhirnya main buang dan memusnahkan agar cepat mendapat keuntungan pribadi," ucapnya.

Baginya, penentu kebijakan pangan yang ada dalam pemerintahan Jokowi cenderung malas berfikir keras. Mereka tidak mampu memperkirakan stok beras dalam gudang.

"Akibatnya ya seperti saat sekarang ini, beras menjadi buruk karena terlalu lama disimpan," tukasnya.

Atas kejadian tersebut, ia menilai pihak yang paling dirugikan adalah petani. Karena stok yang melimpah dalam gudang bulog tentu akan berdampak pada serapan beras dari petani, akihirnya harga beras jatuh.

"Mengenaskan memang, semua kebijakan hanya disandarkan pada keuntungan ekonomi semata," tukas Syarif.

Ia pun menyebut nilai-nilai Pancasila yang semestinya dijadikan dasar dalam merumuskan dan membuat kebijakan malah diabaikan.

Ini menggambarkan cara pandang para penentu kebijakan hanya bersandar pada ideologi kapitalis yang anti Pancasila.

"Mengelola negara seperti coba-coba. Sehingga banyak salah angkat orang lantas salah analisis. Itulah sumber masalahnya," ungkap Syarif.

Di sisi lain, ia menyebut kapitalisme telah masuk dan merusak sendi-sendi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. "Akhirnya kebijakan bangsa dan negara berbelok arah," tuntas Syarif.[Fh]

Laporan: Tio Pirnando