Oleh: Achmad Nur Hidayat ( Pengamat Kebijakan Publik )

Indonesia menerapkan social distancing (SD) dan rapid test untuk wilayah yang paling banyak terpapar CV19, demikian pernyataan Presiden Jokowi yang disampaikan kembali oleh kepala BNPB, Doni Monardo pada video Sabtu 21/03.

Apakah Kebijakan social distancing (SD) sudah tepat dalam kaca mata kebijakan publik? bagaimana politik ekonomi social distancing? apa dampak kebijakan social distancing saat ini?

Dalam bingkai kebijakan publik, setiap kebijakan pemerintah selalu ada the winner dan ada the losser. Kebijakan yang baik adalah marginal of benefit dari the winner dapat mengkompensasi marginal of cost dari the looser. Dengan kata lain, manfaat aggregat kebijakan harus lebih besar daripada biaya aggregat kebijakan.  Situasi tersebut disebut sebagai pareto efficiency. Kebijakan yang baik harus berada pada kondisi pareto efficiency.

Berbagai dunia menerapkan social distancing (SD) berbeda-beda. Di Jerman, SD artinya tidak ada perkumpulan lebih dari dua orang; seluruh warga dilarang melakukan kontak fisik; semua restoran, kafe dan penyedia jasa lainnya harus diberi jarak 2.5 meter antar pelanggan; jika tidak memungkinkan, pemilik harus menutup sementara; di tempat umum orang harus menjaga jarak 1.5 meter; warga diperbolehkan untuk bekerja, perusahaan harus memastikan pegawainya bekerja secara higienis; Otoritas Jerman menekankan SD bukan himbauan tapi aturan yang disertai denda berat bagi pelanggarnya dan polisi dikerahkan untuk melakukan penegakan aturan tersebut. 

Di Amerika, SD diterapkan dengan mengirim tentara nasional berikut dengan Tank dan perlengkapan perangnya (New York City), warga dilarang bekerja, restoran dan kafe tutup (Washingston State), taman dan pantai-pantai di tutup (Florida), tidak ada pengiriman paket via kurier dan stimulus ekonomi diberikan kepada semua orang karena mereka berhenti bekerja (NYC).

Di Indonesia SD diterapkan melalui work/study from home dimana anak sekolah dan mahasiswa belajar di rumah secara online dan pekerja bekerja dari rumah, artis berkarya dari rumah memanfaatkan sosmed, transportasi publik dikurangi (Jakarta). semua dihimbau untuk tidak melakukan kontak fisik dengan orang lain (Jakarta, Jawabarat dan Jawa timur). Tidak ada sanksi terhadap pelanggarnya dan tidak ada kompensasi bagi mereka yang berhenti aktivitas ekonominya, setidaknya sampai saat ini.

SD di Indonesia hanya diikuti oleh kelompok menengah atas sementara kelompok menengah bawah tidak mematuhinya sama sekali. Kelompok pengemudi ojol tetap keluar rumah karena penghasilan mereka adalah harian, buruh bangunan rumahan tetap bekerja, abang kaki lima, bakso dorongan dan kelontongan tetap dijalanan, tukang parkir dan pak ogah tetap ada di jalan, pekerja domestik meramaikan pasar tradisional sementara majikannya mengurung diri kerumah. Bila majikan ingin pesan makan mereka memesan online dan meminta ojol mengantar makanannya.

Perilaku seperti ini akan mengorbankan kelompok bawah lebih banyak, Mereka dengan sangat mudah terpapar CV19 karena tidak ada perlindungan fisik sama sekali. Secara data BPS, kelompok menengah bawah di Indonesia memiliki life expectancy (harapan hidup) yang lebih rendah daripada rata-rata harapan hidup manusia Indonesia. 

Bila kita menyaksikan video-video kiriman netizen, dipertontonkan bagaimana pengemudi motor (mayoritas ojol) tiba-tiba jatuh dijalanan dan meninggal. Ini adalah gambaran bahwa kebijakan SD saat ini salah dan tidak efektif karena hanya memberi manfaat kepada satu kelompok saja dan merugikan kelompok lain.

Melihat pola seperti ini, dalam perspektif kebijakan publik, kebijakan SD yang ala kadarnya tersebut sebagai kebijakan tidak pareto efficiency dan dapat dinilai sebagai crime policy of state seperti genoside kelompok miskin yang dilakukan pelan-pelan melalui CV19.

Jelas sekali, kebijakan SD ala kadarnya seperti ini hanya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada kelompok kaya dengan mengorbankan kelompok miskin. Outcome ini bukan kesalahan para majikan atau kelompok kaya melainkan karena kesalahan negara dalam desain SD. Otoritas tidak mendesain SD secara komprehensif sehingga membiarkan kelompok bawah ini terpapar CV19 lebih serius. Ini dapat disebut genoside modern oleh negara atas kaum miskin.

Kebijakan Social Distancing Indonesia Perlu Direvisi

Kami mengusulkan kebijakan SD harus ditambah dengan pemberian kompensasi kepada semua orang, penegakan hukum (law enforcement) yang ketat dan perlindungan menyeluruh kepada mereka yang terdepan dalam penghentian wabah CV19 seperti sektor kesehatan, sektor logistik ritel dan sektor transportasi. Kebijakan SD komprehensif meliputi: 

Pertama, Negara dapat memberikan kompensasi minimal sebesar Rp150 ribu kepada semua warga negara untuk tetap tinggal di rumah imbas pandemik CV19. Pemberian safety nett tersebut dapat diakses semua kepala keluaga apapun jenis pekerjaannya. Jumlah uang tersebut akan digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, membeli alat kebersihan dan biaya listrik, gas dan utulitas dasar lainnya. Ini untuk memastikan tidak ada yang keluar rumah dengan alasan mencari nafkah.

Kedua, Penegakan hukum berlaku tegas dan komprehensif untuk semua orang yang harus didalam rumah. Pengenaan denda dan ancaman pencabutan kompensasi yang diterima harian akan sangat efektif daripada ancaman penjara dari petugas keamanan.

Ketiga, perlindungan total kepada pendukung kebijakan SD di garis terdepan. Bila negara memutuskan tetap mengizinkan ada transportasi ojol untuk mengirimkan makanan maka pengemudi ojol harus dilindungi dengan test kits masif dan perlengkapan masker, helm dan jaket yang baik. mereka yang terdepan yang harus segera diberlakukan rapid test bukan anggota Dewan dan pejabat yang kontroversial.

Perlindungan kepada tenaga medis harus diperhatikan. Bila negara tidak mau semua orang datang ke rumah sakit, maka negara bisa memberlakukan kebijakan perawatan pasien positif CV 19 di rumah masing dengan mengirim dokter keliling. Dokter keliling akan efektif manakala setiap puskesmas menjadi center of command, menjadi yang terdepan. Penempatan relawan medis dari publik dan keluarga terdekat akan membantu kerja puskesmas tidak overload. Puskesmas dapat fokus kepada pendataan dan pemantauan terintegrasi dari pasien rumah tersebut.

Perlengkapan komunikasi dan jaringan internet tidak boleh down. Penggunaan youtube, netflix dan video streaming yang memerlukan high definition video (HD) perlu dibatasi agar bandwith internet untuk pembelajaran online dan informasi puskesmas ke pasien di rumah tidak terganggu sama sekali.

Pasien dari orang tua dan individu rentan terhadap CV19 hanya yang diizinkan masuk ke ruang isolasi di rumah sakit. Negara harus menyadari bahwa kapasitas rumah sakit sangat terbatas, jumlah ventilator terbatas dan ruang inap isolasi super sedikit jadi prioritas diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan.

Akhirnya, seluruh kebijakan tersebut perlu didukung dengan pembiayaan yang besar dari negara. Negara tidak perlu ragu karena kebijakan negara harus counter cyclical terhadap penurunan ekonomi. Bila ekonomi rakyat turun, pemerintah jangan menunda apalagi berhemat, nanti ekonomi akan jatuh lebih dalam lagi.

Otoritas keuangan perlu membantu negara memikirkan bagaimana pembiayaan kebijakan stimulus ekonomi tambahan tersebut dilakukan. Opsi terdekat adalah memperbesar defisit melalui penerbitan SBN baru (corona bills) dan relaksasi aturan defisit maksimal 3%, bila diperlukan keluarkan perppu untuk keterlibatan dari institusi keuangan dan bank sentral untuk membeli SBN di pasar primer untuk melengkapi kebutuhan dana.

Semua pihak harus bersatu, jangan ada lagi kebijakan sektoral dan kewilayahan yang tidak komprehensif dalam atasi CV19 sehingga mengakibatkan kebijakan hanya menguntungkan kelompok atas dan merugikan kelompok bawah seperti saat ini.

Negara tidak perlu melakukan lockdown, cukup kebijakan komprehensif ini dilakukan dan harus dilakukan segera untuk keselamatan semua khususnya mereka yang miskin dan terpapar CV19 yang paling besar.