Telusur.co.id -Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI, Universitas Ahmad Dahlan.
Ada satu pola yang berulang dalam sejarah pasar keuangan: semakin banyak orang merasa yakin bahwa harga akan terus naik, justru semakin besar risiko kejatuhan yang sedang mereka ciptakan bersama-sama. Fenomena ini tak hanya terjadi di Wall Street atau bursa-bursa besar dunia, tetapi juga dapat kita lihat dalam dinamika Harian IHSG di Indonesia.
Setiap kali indeks mendekati rekor baru, euforia publik meningkat, ruang obrolan ramai, grup media sosial penuh analisis optimistis, dan berbagai “ramalan pasti naik” beredar seakan-akan hukum pasar tak pernah berubah. Padahal pasar saham bergerak bukan hanya oleh harapan, tetapi juga oleh siapa yang bersedia membeli ketika banyak orang ingin menjual di waktu yang sama.
Sejarah telah memberi banyak contoh. Euforia dot-com akhir 1990-an memperlihatkan bagaimana keyakinan massal bisa mendorong harga saham perusahaan yang bahkan belum memiliki model bisnis jelas. Semua orang percaya “masa depan pasti cerah” sampai akhirnya gelembung itu pecah pada 2000. Delapan tahun kemudian, euforia properti dan instrumen keuangan berbasis utang membawa krisis 2008. Polanya serupa: keyakinan kolektif bahwa harga tidak mungkin turun, memicu perilaku yang terlalu percaya diri, dan akhirnya menciptakan titik rapuh yang runtuh hanya oleh satu guncangan kecil.
Dalam konteks pasar Indonesia, euforia semacam itu juga mudah ditemukan. Ketika harga saham terus naik selama beberapa minggu, narasi publik mulai bergeser: bukan lagi “hati-hati, pasar bisa berbalik”, melainkan “sayang kalau tidak ikut.” Padahal naiknya IHSG tidak berarti semua saham naik dan tidak ada kepastian bahwa tren tersebut akan bertahan lama. Justru ketika terlalu banyak orang masuk dengan ekspektasi serupa, pasar kehilangan keseimbangan. Karena jika semua percaya harga akan tetap naik, siapa yang siap membeli ketika mereka nanti ingin keluar pada saat yang sama?
Masalahnya adalah psikologi manusia memang cenderung meniru perilaku mayoritas. Dalam ekonomi perilaku, ini disebut herd behavior, yaitu dorongan ikut arus karena merasa arus tersebut aman. Namun, kenyataannya, pasar tidak bergerak berdasarkan kenyamanan, tetapi oleh transaksi riil. Indeks bisa naik karena lebih banyak pembeli aktif; tetapi untuk naik terus, selalu dibutuhkan pembeli baru. Ketika pembeli mulai berkurang sementara yang ingin merealisasikan keuntungan semakin banyak, tekanan jual menjadi tak terhindarkan. Di sinilah sering terjadi penurunan mendadak yang membuat investor ritel panik.
Pada titik ini, yang menentukan bukan sekadar analisis teknikal atau fundamental, tetapi pemahaman tentang dinamika perilaku investor. Pasar yang sehat membutuhkan dua sisi: optimisme dan kehati-hatian. Ketika optimisme mendominasi terlalu besar, sisi kehati-hatian menurun, dan pasar menjadi rentan. Banyak investor ritel lupa bahwa harga saham mencerminkan pertarungan antara pembeli dan penjual, bukan sekadar harapan kolektif bahwa “pasti naik”. Kejatuhan pasar sering terjadi bukan karena berita buruk, tetapi karena banyak orang bereaksi bersama-sama.
Lalu apa pentingnya bagi publik? Penting karena literasi keuangan dan mentalitas berinvestasi tidak boleh dibangun di atas euforia. Kita membutuhkan pemahaman yang lebih realistis: pasar naik dan turun, sentimen bisa berubah dalam hitungan jam, dan tidak ada tren yang abadi. Menyadari bahwa setiap kenaikan harga membutuhkan pihak yang siap menampung di harga yang lebih tinggi membuat kita lebih rendah hati dalam mengambil keputusan investasi. Pasar bukan tempat mencari kepastian, tetapi tempat mengelola risiko.
Pada akhirnya, pasar saham akan selalu dipengaruhi oleh optimisme-optimisme baru. Itu wajar. Namun kewaspadaan tetap penting, terutama ketika suara mayoritas mulai meyakinkan bahwa “yang ini pasti aman”. Justru pada momen itulah kita perlu bertanya: jika semua orang yakin akan naik, siapa yang berada di sisi sebaliknya? Siapa yang bersedia membeli ketika euforia berubah menjadi penyesalan? Pertanyaan inilah yang sering menentukan apakah kita menjadi bagian dari kerumunan atau tetap menjadi investor yang lebih matang dan siap menghadapi dinamika pasar apa adanya.



