Larang Eks Napi Korupsi Maju Pilkada, Pengamat: KPU Telah Mengambil Hak Tuhan - Telusur

Larang Eks Napi Korupsi Maju Pilkada, Pengamat: KPU Telah Mengambil Hak Tuhan

Diskusi Indonesian Public Institute (IPI) bertajuk 'Mengupas Polemik Larangan Eks Napi Korupsi Maju di Pilkada' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/19). (foto: telusur.co.id)

telusur.co.id - Langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kembali mewacanakan larangan bagi mantan narapidana korupsi jadi calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 menuai kritik. Salah satunya adalah Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago.

Menurut Pangi, KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak memiliki kewenangan untuk mencabut hak seseorang untuk maju menjadi calon kepal daerah di Pilkada.

"Tuhan saja sayang sama manusia. KPU ini Tuhan atau manusia? Kalau KPU mau menghakimi manusia, Tuhan saja masih penyayang, mengampuni dosa masa lalu," kata Pangi dalam diskusi Indonesian Public Institute (IPI) bertajuk 'Mengupas Polemik Larangan Eks Napi Korupsi Maju di Pilkada' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/19).

Pangi mengungkapkan, seorang mantan narapidana juga bisa bertobat dan memperbaiki dirinya sendiri. Oleh karena itu, seseorang atau siapapun yang pernah terjerat tindak pidana, tidak boleh dicabut hak politiknya.

"Ini orang yang sudah 5 tahun dipenjara, dihukum seumur hidup, dicabut hak politiknya. Menurut saya kurang pas untuk konteks itu. Dalam hal ini, KPU telah mengambil hak Tuhan karena tidak pengampun dan penyayang. Padahal kita tidak tahu mantan koruptor itu bertobat juga," sebut Pangi.

Oleh karenanya, Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consulting itu mengimbau agar KPU tidak perlu melarang-larang seseorang untuk maju menjadi calon kepala daerah dan mematikan hak politik seseorang.

Dijelaskannya, yang mengatur seseorang boleh atau tidak mengikuti Pilkada adalah UU Pemilu, bukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

"KPU itu penyelenggara bukan menghakimi orang untuk berkontestasi. Soal orang layak jadi caleg dan kepala daerah itu ada regulasi di UU pemilu nomor 7 tahun 2017. Ini patokan kita. Bukan PKPU," terangnya.

"Kalau KPU bilang mau paling bersih, buatlah UU, bukan peraturan. Kalau ada peraturan mengalahkan UU, MK bisa dikalahkan PKPU, negara ini ngawur. Padahal keputusan MK final dan mengikat, dan itu benteng terakhir konstitusi," pungkasnya. [Fhr]


Tinggalkan Komentar