Telusur.co.id -Oleh: Krisna Pri Septiady & Yosua Ignasias Panjaitan, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Sejak awal penerapannya di 1 Januari 2025, Coretax telah banyak menimbulkan huru hara, tidak hanya di jagat nyata, tetapi juga di jagat maya. Sebut saja masalah kesulitan mengakses masuk ke situs Coretax yang pada waktu itu cukup menggemparkan para praktisi perpajakan. Kesulitan ini tentu tidak hanya berdampak pada waktu para pengguna yang terbuang sia-sia, tetapi juga berdampak pada pemenuhan kewajiban perpajakan yang tertunda. Beruntungnya, DJP memberikan kelonggaran waktu pembayaran pajak dan pelaporan SPT bagi seluruh wajib pajak tanpa terkecuali. Namun, seperti kata pepatah, “Kesempurnaan hanya datang dari Tuhan”, Coretax sampai saat ini masih memiliki banyak kendala.
Berangkat dari hal itu, kami menemui salah satu narasumber yang kebetulan pekerjaannya berkutat dengan Coretax. Andi, bukan nama asli, seorang pekerja yang boleh dibilang taat pajak karena hampir setiap harinya Andi mengakses Coretax. Bukan karena Andi suka dengan Coretax, tetapi karena Andi mau tidak mau harus menggunakan Coretax untuk menunjang pekerjaannya. Andi mengaku, pada mulanya, Coretax merupakan mimpi buruk baginya mengingat banyaknya masalah yang muncul pada masa awal penerapan Coretax. Namun, seiring berjalannya waktu, Andi yang notabenenya bukan seorang penyabar kini mulai terbiasa dengan Coretax. Meskipun sudah terbiasa, Andi menyebut bahwa dirinya masih belum bisa ‘menerima’ Coretax sepenuhnya. “Sebenarnya sudah biasa sih ya sama Coretax ini, tapi kadang masih ada aja yang bikin naik darah,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Kami pun mencoba menggali lagi pengalaman Andi selama menggunakan Coretax, terutama terkait perubahan yang terjadi. Andi menyebut ada beberapa perubahan yang sekiranya cukup mengganggu dan mungkin dirasakan oleh orang lain yang rutin menggunakan Coretax. Permasalahan tersebut membuat Andi mempertanyakan, apakah benar Coretax dibuat untuk memudahkan wajib pajak atau justru malah menguji kesabaran dari wajib pajak.
Perubahan pertama adalah terkait perubahan penggunaan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) pada BP21 - Bukti Pemotongan Selain Pegawai Tetap. NITKU merupakan identitas tempat usaha yang dimiliki wajib pajak untuk mengurus keperluan perpajakan
tempat usahanya tersebut. NITKU didapatkan dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik yang bersangkutan, lalu ditambah nol sebanyak enam kali di belakang NIK. Andi menyebutkan, pada saat dia ingin mengimpor Bukti Potong masa pajak Juli untuk kliennya yang merupakan seorang wanita kawin, Andi gagal mengimpor bukti potongnya. Padahal Andi telah memasukkan NITKU suami kliennya yang biasa dia pakai dari masa pajak sebelumnya. Ketika Andi menelusuri permasalahan tersebut, ia menemukan bahwa NITKU yang berlaku atas bukti potong pada masa pajak Juli telah berubah menggunakan NITKU yang bersangkutan, bukan NITKU suaminya. Hal tersebut mencerminkan bahwa Coretax masih ‘labil’. NITKU yang tidak konsisten ini juga menunjukkan bahwa kurangnya kepastian (certainty) dalam penerapan Coretax.
Perubahan kedua adalah berubahnya sistem filter pada menu eBupot. Dahulu, Coretax tidak akan langsung mem-filter masa pajak pada saat membuka menu e-Bupot. Namun, saat ini Coretax akan langsung mem-filter masa pajak yang saat ini sedang berjalan. Misalkan, Andi membuka menu eBupot pada tanggal 01 November 2025, maka secara otomatis Coretax akan mem-filter menjadi masa November 2025 saja. Menurut Andi, perubahan ini cukup mengganggu, terutama apabila Andi ingin mengecek bukti potong atas satu orang yang sama namun dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini karena sistem Coretax yang membatasi pencarian bukti potong hanya pada satu masa spesifik saja. Meskipun Andi sudah mencoba untuk menghapus filter masa, bukti potong tetap tidak muncul sehingga Andi mau tidak mau harus mengecek dengan berpindah-pindah masa. Perubahan kecil ini membuat Andi sedikit terganggu pada saat menggunakan Coretax, terutama jika Andi memiliki deadline dalam waktu dekat.
Kedua perubahan tersebut menunjukkan bahwa Coretax belum sepenuhnya mampu mencerminkan sistem yang stabil dan andal. Meskipun sekilas terlihat kecil dan sepele, dampaknya bagi wajib pajak tidak bisa dianggap remeh. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan, dapat menghambat kelancaran pekerjaan wajib pajak, menimbulkan kebingungan dalam proses administrasi, atau bahkan berpotensi menjerumuskan wajib pajak pada kesalahan yang dapat berujung pada sanksi. Kondisi ini menunjukkan perlunya perbaikan di sisi konsistensi sistem agar wajib pajak dapat menjalankan kewajibannya tanpa hambatan teknis yang berpotensi dapat merugikan wajib pajak.
Sebagai Wajib Pajak, Andi mau tidak mau harus tunduk pada regulasi yang berlaku saat ini, yang artinya Andi harus menggunakan Coretax dalam melakukan pekerjaannya. Meskipun terkadang Andi dibuat mengelus dada. Selain karena tuntutan pekerjaan, tidak ada pula sistem alternatif lain yang dapat digunakan. Dengan demikian, apapun kendala atau perubahan yang terjadi dalam Coretax, Andi tetap harus menyesuaikan diri demi memastikan kewajiban perpajakannya dapat dilaksanakan dengan benar dan sesuai ketentuan.
Ia menyampaikan bahwa sebagai pengguna, ia hanya ingin sebuah sistem yang stabil, mudah dipahami, dan tidak sering berubah tanpa pemberitahuan yang jelas. Andi berharap setiap pembaruan dilakukan dengan perencanaan yang matang, disertai penjelasan yang transparan, sehingga pengguna tidak perlu merasa kebingungan atau khawatir pekerjaan mereka terhambat.
Pada akhirnya, harapan Andi ini mencerminkan kebutuhan seluruh wajib pajak, yakni agar Coretax dapat dibenahi kembali dan dikembangkan menjadi sistem yang lebih andal dan konsisten, sehingga mampu memberikan kepastian dan kenyamanan bagi seluruh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.



