telusur.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Melly Goeslaw, PT Aquarius Pustaka Musik, dan PT Aquarius Musikindo, terkait aturan perlindungan hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam sidang yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (29/2/24).
MK memutuskan, Pasal 10 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau Layanan Digital yang dikelolanya”.
Dalam perkara ini, para pemohon dalam petitumnya menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.
Mereka menginginkan norma itu diubah menjadi “Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau Layanan Digital yang dikelolanya”.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, diperlukan peraturan yang tegas dan jelas untuk melindungi para pencipta, para pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait agar tidak terjadi pelanggaran. Sehingga platform dengan UGC dapat mempertanggungjawabkan konten-konten yang melanggar hak cipta.
Karena itu, Arief menekankan Pasal 10 UU Hak Cipta perlu dipertegas dan diperluas dengan mewajibkan pengelola platform berbasis UGC untuk memastikan konten yang dimuat tidak melanggar peraturan perundang-undangan agar mampu mencegah pelanggaran hak cipta di Indonesia.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU Nomor 28 Tahun 2014 telah menciptakan ketidakpastian hukum yang adil adalah dalil yang beralasan menurut hukum, dan norma Pasal 10 UU Nomor 28 Tahun 2014 harus dimaknai secara bersyarat sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan a quo,” ucap Arief.
Para pemohon juga menyatakan Pasal 114 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945.
Mereka menginginkan norma pasal tersebut diubah menjadi “Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dalam segala bentuknya yang sepatutnya mengetahui membiarkan penjualan, penayangan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau Layanan Digital yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.
Namun, permohonan itu ditolak oleh majelis hakim karena pasal tersebut tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan baru Pasal 10 UU Hak Cipta dengan jangkauan yang lebih luas dari sebelum dimaknai oleh Mahkamah.
“Sehingga, meskipun lulusan a quo mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan, namun penting bagi pembentuk undang-undang untuk segera menyesuaikan Pasal 114 UU 28/2014 dengan pemaknaan baru Pasal 10 UU 28/2014. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar dia.[Fhr]