telusur.co.id - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo membacakan naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dalam Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta. Dipimpin Presiden Joko Widodo sebagai Inspektur Upacara. Sementara Ketua DPR RI Puan Maharani sebagai pembaca teks Pancasila.
"Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang selalu diperingati setiap 1 Oktober, sesuai Keputusan Presiden Nomor 153/Tahun 1967, tidak boleh sekadar menjadi upacara yang berlalu hanya dalam waktu beberapa jam saja. Melainkan harus menjadi pembangkit semangat untuk semakin meneguhkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara," ujar Bamsoet usai membacakan naskah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dalam Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Minggu (1/10/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, lahirnya momentum Hari Kesaktian Pancasila tidak lepas dari tragedi G30S/PKI. Enam jenderal dan satu perwira dibunuh secara keji dan dibuang ke dalam sumur sedalam 12 meter di kawasan Lubang Buaya. Antara lain Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
"Gerakan tersebut pada akhirnya berhasil diredam. Tragedi G30S/PKI tidak berhasil mengganti Pancasila dengan marxisme, leninisme, maupun Maoisme. Pancasila tetap teguh, tidak hanya sebagai ideologi bangsa melainkan juga sebagai sumber kekuatan moril dan spiritual bangsa. Pancasila membuktikan keberadaannya sebagai ideologi yang menyatukan. Sehingga kemudian setiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menerangkan, sebagai tindak lanjut, MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang, serta pelarangan penyebaran paham komunisme/marxisme-leninisme. Hingga kini TAP MPRS tersebut masih berlaku, dan menjadi pegangan kuat bagi bangsa Indonesia dalam melindungi jati dirinya.
Disisi lain, Pancasila tak boleh dijadikan komoditas politik bagi sebagian kelompok. Pancasila merupakan milik bangsa, bukan milik segelintir orang. Menganggap diri paling Pancasilais, sementara yang lainnya tidak, merupakan tindakan yang tidak dibenarkan serta tidak sesuai dengan semangat Pancasila.
"Jangan menjadi pengkhianat bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai alat provokasi pemecah belah bangsa. Tidak perlu merasa paling benar sendiri, paling Pancasila sendiri. Karena nilai-nilai Pancasila bukan untuk dikatakan atau didiskusikan, melainkan untuk diamalkan," pungkas Bamsoet.[iis]